SinarHarapan.id – “Seni bukan hanya cermin realitas, tetapi juga cahaya yang mengubahnya.”
Denny JA mengaku kutipan ini ikut menambah keyakinannya untuk menghibahkan dana abadi bagi sebuah kegiatan seni: Festival Tahunan Puisi Esai.
Dengan dana abadi itu, Festival Puisi Esai dapat berlangsung hingga 50 tahun mendatang, dan seterusnya.
Ujar Denny, sastra adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, penelitian menunjukkan bahwa membaca sastra meningkatkan empati. Para pembaca sastra cenderung lebih memahami penderitaan orang lain, lebih peka terhadap keragaman identitas, dan lebih peduli terhadap ketidakadilan.
Namun, di sisi lain, komunitas sastra jangka panjang tidak dapat hidup dari hukum pasar saja. Seni membutuhkan subsidi; sastra membutuhkan uluran tangan yang memastikan panggungnya tetap ada.
Denny terinspirasi oleh contoh sejarah. Andrew Carnegie, dengan visi mencerdaskan masyarakat, mendirikan ribuan perpustakaan. Hingga kini, perpustakaan itu menjadi tempat belajar lintas generasi.
Alfred Nobel, dengan warisan dana abadinya, mendanai penghargaan sastra, di samping penghargaan lain. Ini memberi pengakuan tertinggi bagi para penulis dunia dan para kreator lainnya.
Ruth Lilly, melalui The Poetry Foundation, menyelamatkan puisi dari pinggiran dunia modern dengan dukungan dana besar dalam sejarah puisi.
Mereka adalah bukti bahwa seni membutuhkan tangan-tangan dermawan yang mengerti bahwa kebudayaan adalah harta abadi umat manusia.
Apa yang membuat puisi esai perlu terus dihidupkan, disebarkan, dan dirawat? Ujar Denny, puisi esai adalah genre yang menyampaikan kisah nyata dalam bentuk puisi.
Isu hak asasi manusia, ketidakadilan, marginalisasi, dan identitas sosial menjadi inti setiap puisi. Namun, puisi ini tidak berhenti pada metafora; ia mencatat fakta melalui catatan kaki, menghubungkan estetika dengan realitas.
Catatan kaki di puisi esai menjadi elemen vital yang menjadikan puisi ini bukan hanya seni, tetapi juga dokumen sosial.
Festival Puisi Esai Jakarta menjadi lebih dari sekadar panggung seni. Ia adalah ruang yang menjalankan banyak fungsi.
Festival ini mempertemukan penulis puisi esai untuk berjumpa, berbagi pengalaman, dan menginspirasi satu sama lain.
Tali silaturahmi antarpenulis diperkuat, memastikan keberlanjutan genre ini. Setiap festival memotret isu-isu penting yang dihadapi masyarakat, menjadikannya bahan refleksi melalui puisi.
Dari hak perempuan hingga perjuangan identitas minoritas, puisi esai memberi suara pada yang terpinggirkan.
Festival ini juga menjadi ajang edukasi publik, mengajak masyarakat memahami persoalan sosial melalui seni. Ketika isu-isu serius disampaikan dengan keindahan puisi, masyarakat lebih mudah memahami dan tergerak untuk bertindak.
Untuk memastikan keberlanjutan festival ini, Denny JA Foundation menyediakan dana abadi. Dana ini berasal dari saham perusahaan yang Denny miliki. Sebagian saham itu kini dimiliki oleh Denny JA Foundation.
Ini untuk memastikan agar setiap tahun dari perusahaan itu ada yang mengalir ke Foundation. Dana itu pula yang akan digunakan untuk menopang festival hingga 50 tahun mendatang, dan seterusnya.
“Saya mencontoh dari kasus yang besar. Saya mengerjakan hal yang jauh, jauh, jauh lebih kecil, namun mengambil spiritnya.”
Ini adalah investasi bagi generasi mendatang, memastikan bahwa panggung sastra terus ada, memberi suara bagi yang tak terdengar.
“Dana abadi untuk Festival Puisi Esai bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga memastikan bahwa kisah-kisah tentang keadilan, keberanian, dan kemanusiaan terus hidup di masa depan,” ujar Denny JA.***