Deret Sengketa Wilayah Pulau di Indonesia Selain Aceh dengan Sumut

6 hours ago 1

Surabaya, CNN Indonesia --

Konflik perebutan pulau tak hanya terjadi antara Aceh dan Sumatera Utara, tapi juga di sejumlah wilayah lain di Indonesia seperti di Jawa Timur, serta antara Kepulauan Riau dan Jambi.

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut kini telah selesai setelah diputuskan di Istana untuk masuk wilayah Provinsi Aceh.

Pemerintah pusat menemukan dokumen lama sehingga membatalkan Keputusan Mendagri yang sebelumnya menetapkan empat pulau itu milik Sumut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan, berikut data perebutan pulau yang terjadi di wilayah lain di Indonesia.

Jawa Timur

Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung di Jawa Timur kini saling mengklaim memiliki 13 pulau yang berada di perairan selatan Jawa.

Tiga belas pulau yang diperebutkan itu adalah Pulau Anak Tamengan, Pulau Anakan, Pulau Boyolangu, Pulau Jewuwur, Pulau Karang Pegat, Pulau Solimo, Pulau Solimo Kulon, Pulau Solimo Lor, Pulau Solimo Tengah, Pulau Solimo Wetan, Pulau Sruwi, Pulau Sruwicil, dan Pulau Tamengan.

Berdasarkan pengamatan citra satelit yang dilakukan CNNIndonesia.com, secara geografis 13 pulau itu masuk di wilayah Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Posisinya berada di perairan Trenggalek yang berbatasan dengan Tulungagung.

Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setdaprov Jatim, Lilik Pudjiastuti mengatakan polemik wilayah pulau-pulau itu sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun silam.

"Dari awal sudah ada dualisme, sudah double," kata Lilik, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Rabu (18/6).

Selama sengketa itu, kata Lilik, Pemprov sudah memfasilitasi Pemkab Trenggalek dan Pemkab Tulungagung untuk duduk bersama melakukan mediasi.

Hasil mediasi itu disebutnya sudah dikirimkan serta dikomunikasikan oleh Pemprov Jatim ke Kemendagri. Hal itu disampaikan sudah sejak 2024.

"Kami sudah memfasilitasi dan membuatkan berita acara yang kita kirim ke Kemendagri gitu, dan itu keputusannya di Kemendagri," ujar dia.

Lilik kemudian menceritakan awal polemik ini terjadi.

Pemkab Trenggalek, kata dia, sudah memasukkan 13 pulau itu sebagai wilayahnya, dan tercantum pada Perda Kabupaten Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek Tahun 2012-2032.

Lalu, pada 2023, Pemkab Tulungagung ternyata memasukkan 13 pulau tersebut sebagai wilayahnya juga pada Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang RTRW Kabupaten Tulungagung, Tahun 2023-2043.

"[13 pulau] Itu berdasarkan Perda RTRW-nya Trenggalek itu dia masuk tahun 2012, tapi juga masuk di Perda RTRW Tulungagung tahun 2023," ucap Lilik.

Kemudian dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, disebutkan 13 pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tulungagung.

Tapi, dalam Perda Provinsi Jatim Nomor 10 Tahun 2023 serta Perda Kabupaten Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012 tentang RTRW, wilayah itu dinyatakan bagian dari Trenggalek.

Dan, terbaru pada Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 Tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, 13 pulau itu dimasukkan ke wilayah Tulungagung.

Lilik mengatakan 13 pulau itu merupakan daratan yang kosong alias tak berpenghuni. Kini, sambung Lilik, pihaknya menunggu keputusan Kemendagri soal 13 pulau tersebut.

"Seperti apa tindakannya, ini kita nunggu dari Kemendagri. Insya Allah ada jalan keluarnya nanti seperti apa kesepakatannya," ujar Lilik.

Ditanya terpisah, Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Deni Wicaksono mendesak Pemprov Jatim tidak lepas tangan soal sengketa 13 pulau itu. Apalagi hal ini terkait kredibilitas tata kelola wilayah.

"Pemprov tidak boleh lepas tangan. Ini soal kredibilitas tata kelola wilayah. Kalau dulu setuju pulau itu masuk Trenggalek, ya sekarang harus dikawal dong," kata Deni di Kantor DPRD Jatim, Surabaya, Rabu.

Deni juga mempertanyakan keputusan Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025 Tahun 2025 yang menetapkan 13 pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tulungagung, meskipun data dan sejarah menunjukkan wilayah itu selama ini bagian dari Trenggalek.

Dia mengungkap adanya perubahan sepihak yang mencederai kesepakatan lintas lembaga di tahun sebelumnya.

"Kami minta Kemendagri membuka ruang klarifikasi dan mendasarkan keputusan pada data faktual, bukan sekadar dokumen administratif," tegas Deni.

Menurutnya secara historis dan administratif, pulau-pulau tersebut sejak lama masuk dalam wilayah Trenggalek. Apalagi, sambungnya, itu diperkuat berbagai regulasi seperti RTRW Provinsi Jatim dan RTRW Kabupaten Trenggalek yang sejak awal mencantumkan keberadaan pulau itu dalam wilayah Trenggalek.

"Secara historis, pulau-pulau ini bagian dari Trenggalek. RTRW baik provinsi maupun kabupaten sejak dulu menyatakan hal yang sama. Lalu kenapa sekarang berubah?" tegasnya.

Indikasi potensi migas

Selain itu, Deni menyebut ada indikasi potensi sumber daya alam yang signifikan di wilayah sengketa.

Dia mengatakan beberapa laporan menyebut kemungkinan kandungan minyak dan gas, yang patut dicurigai sebagai faktor di balik keputusan pemindahan wilayah administratif pulau-pulau tersebut.

"Kalau benar ada indikasi migas, jangan sampai ini jadi ajang rebutan diam-diam yang melukai rasa keadilan masyarakat. Ini bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berhak," ujar Deni.

Dia juga mengingatkan bahwa posisi pulau lebih dekat dengan garis pantai Trenggalek dan selama ini berada dalam jangkauan operasional TNI AL dan Polairud wilayah Trenggalek. Artinya, secara praktis maupun strategis, Trenggalek memang yang selama ini mengelola dan mengawasi.

"Pulau-pulau itu lebih dekat ke Trenggalek, bahkan sudah lama menjadi bagian dari sistem pengawasan TNI AL dan Polairud Trenggalek," katanya.

Deni pun mendorong agar keputusan Kemendagri segera direvisi, mengingat Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan ruang bagi perubahan keputusan pejabat tata usaha negara jika ditemukan kekeliruan atau ketidaksesuaian data.

"Jangan sampai seperti ini terus. Pemerintah pusat harus berani mengoreksi jika ada kekeliruan. Pulau ini bisa jadi sumber konflik di masa depan jika dibiarkan," ujarnya.

Baca halaman selanjutnya.


Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |