PADANG, METRO–Ketua Tim Pengembangan dan Pemberdayaan Desa Wisata (TP2 DEWI) Sumatera Barat (Sumbar), M. Zuhrizul mengatakan, dalam persiapan roapmap desa wisata ke depan perlu dilakukan sertifikasi dan standarisasi terhadap pelaku wisata dan desa wisata di Sumbar.
“Sertifikasi dilakukan kepada pelaku wisata. Terutama atraksi minat khusus. Kalau di laut ada sertifikasi penyelam, di gunung atau sungai ada sertifikasi untuk paralayang dan arung jeram. Termasuk sertifikasi guide di desa wisata,” terang Zuhrizul usai kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Roadmap Desa Wisata, di Padang, Senin (9/12).
Setelah disertifikasi, tambah Zuhrizul, juga perlu standarisasi desa wisata. Penginapan harus sudah standar dan layak. Kegiatannya apakah sudah ada paket desa wisatanya? Apa ada paket wisata menginap sehari, dua hari, seminggu? “Jika ini sudah dilakukan baru beredar uang di desa wisata. Masyarakat bisa merasakan manfaat dengan uang beredar di desa itu dari wisatawan yang menginap,” terang Zuhrizul.
Selain itu, jika ada sarana dan prasarana penginapan atau homestay yang belum layak, seperti toiletnya, maka di sinilah peran wali nagari dan pemerindah daerah. “Melalui dukungan kerja sama dengan BUMDes bisa untuk memperbaiki sarana dan prasarana di desa wisata itu,” terangnya.
Zuhrizul juga mengatakan, bagi desa atau nagari yang baru mulai merintis desa wisata dengan kategori rintisan, maka perlu dilakukan pengembangan dengan cara berkolaborasi dengan pemerintahan nagari dan pemerintah kabupaten kota.
“Kalau desa wisata yang sudah layak dijual, maka di roapmap itu nanti diberikan sertifikasi dan standarisasi selama lima tahun ke depan. Ujung dari semua itu desa wisata itu betul-betul layak menerima wisatawan. Karena sudah tersertifikasi dan standarisasi,” terangnya.
Zuhrizul menegaskan, desa wisata bukan objek wisata di desa. Tapi seluruh potensi di desa wisata itu menjadi daya tarik. Apapun yang dilakukan masyarakat di desa itu menjadi daya tarik. Termasuk kearifan lokal dan kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti bertani, bercocok tanam.
Segmen pasar desa wisata ini orang kota yang ingin menikmati hidup di desa. “Mereka datang ke desa wisata ada edukasi di desa, belajar adat budaya kearifan lokal dan kegiatan kerajinannya seperti menenun dan sebagainya. Mereka berkunjung menginap sambil belajar,” terangnya.
Zuhrizul mencontohkan, Desa Wisata Terbaik Dunia, Wukirsari yang tidak punya objek wisata, tetapi orang yang datang bisa belajar membatik. Sehingga membawa kenangan pulang dari desa tersebut.
“Untuk mewujudkan itu perlu komitmen perangkat desa atau nagari, baik itu Bamus Nagari, KAN, Alim Ulama Cadiak Pandai. Komitmen berupa membuat komitmen bersama rambu-rambu pengunjung yang menginap apa yang boleh dan tidak boleh. Lalu dilakukan bimtek,” tegasnya.
Setelah ada sertifikasi dan standarisasi, maka perlu ada keberlanjutan (sustainable). Hal ini bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai yang ada di desa wisata. Karena itu perlu dilakukan konservasi. Sehingga dapat menjaga nilai adat, budaya lingkungan dan alamnya. Termasuk kearifan lokalnya. “Jika semua itu terjadi, maka desa wisata itu akan semakin mahal,” terangnya.
Selain perlunya Pemprov Sumbar membuat roapmap pengembangan desa wisata, Zuhrizul menilai masing-masing nagari juga perlu membuat roadmap dan master plan desa wisatanya. Sehingga barulah desa wisata itu jelas peruntukan wilayah. “Dengan adanya roapmap dan master plan desa wisata di nagari, sehingga desa miliki rencana detail tata ruang desa atau nagari. Siapapun wali nagari yang memimpin tinggal melanjutkan master plan-nya,” ungkapnya.
Perlu Dukungan Pemerintah
Agar ekonomi masyarakat di desa wisata bergerak, Zuhrizul juga mendorong pemerintah dan pemerintah daerah agar melaksanakan kegiatan-kegiatan pemerintah di desa wisata. “Kegiatan pemerintah agar “digeser” ke desa wisata. Apakah bimtek atau pelatihan namanya. Jadi desa wisata mendapatkan manfaatnya,” harapnya.
Selain itu, juga perlu adanya regulasi agar siswa SMP dan SMA di Sumbar, atau lokal melakukan kegiatan student homestay, yakni berwisata sambil belajar di desa.
“Dari pada siswa pergi liburan ke mall yang bersifat konsumtif. Dengan berwisata ke desa wisata, siswa SMP dan SMA bisa belajar tentang adat dan budaya Minangkabau, seperti silat, sumbang duo baleh, permainan anak-anak nagari. Bisa juga ke sawah, menikmati kuliner tradisional, subuh-subuh salat ke masjid. Anak-anak kota tidak bisa merasakan kehidupan seperti ini,” terangnya.
Dengan ikut permainan anak nagari di desa wisata, maka akan menghindari anak-anak bermain gadget. Namun, agar mereka bisa belajar adat dan budaya Minangkabau di desa wisata, juga harus melibatkan ninik mamak, alim ulama, pemuda dan Ibu-ibu pelaku UMKM untuk menghadirkan oleh-oleh souvenir.
“Kita harus menyatukan persepsi untuk menciptakan roadmap yang jelas sebagai fondasi bagi industri pariwisata Sumbar, khususnya wisata edukasi yang memiliki potensi besar untuk dijual kepada wisatawan,” lanjutnya.
Sementara, Pakar Pariwisata dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Siti Fatimah, mengungkapkan konflik internal di desa atau nagari wisata sebagai masalah utama.
“Berbagai teori pariwisata tidak akan efektif jika isu konflik internal di tingkat desa atau nagari tidak ada solusinya. Hampir seluruh desa wisata di Sumbar menghadapi masalah ini, dengan penggunaan dana desa sebagai pemicu utama,” jelas Wakil Rektor UNP tersebut.
Menurut Siti Fatimah, konflik internal yang tidak tertangani sering kali menjadi penghambat utama kemajuan desa wisata. “Saya sudah lebih dari 10 tahun melakukan pemberdayaan, dan menyelesaikan konflik internal adalah tugas yang paling berat,” tambahnya.
Sekretaris TP2 DEWI Sumbar, Elvis menyampaikan beberapa tantangan lain dalam pengembangan desa wisata. Di antaranya minimnya pemasaran digital, kurangnya dukungan dari para pemangku kepentingan, terbatasnya pelatihan teknis, hingga kurangnya penyelenggaraan even berskala nasional dan internasional. “Semoga ini menjadi perhatian semua dinas terkait, bukan hanya Dinas Pariwisata,” harap Elvis.(fan)