Jakarta, CNN Indonesia --
Sebanyak 54 ribu fasilitas layanan kesehatan di desa, mulai dari puskesmas pembantu (pustu) hingga puskesmas desa (puskesdes), direncanakan untuk digabung ke dalam sistem Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pemerintah menyiapkan anggaran sekitar Rp700 miliar untuk membangun 700 gedung baru pada 2025, dengan target memanfaatkan lahan yang sudah siap dan bersih secara administrasi.
Budi menyebut rencana ini telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan telah mendapat lampu hijau dari Kementerian Keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain membangun unit baru, pemerintah juga akan menutup kekurangan fasilitas dengan memperbaiki sekitar 6.000 dari total 54 ribu unit layanan kesehatan desa yang mengalami kerusakan. Untuk setiap gedung apotek dan klinik desa, kebutuhan anggarannya diperkirakan mencapai Rp1 miliar.
Budi menyatakan proyek ini merupakan bagian dari upaya memperluas layanan kesehatan dasar di masyarakat desa. Namun, eksekusi program tetap bergantung pada kesiapan sejumlah faktor teknis seperti status lahan, gedung, dan regulasi pendukung.
"Tahun 2025 sudah ada anggarannya, tapi harus ada daftar segala macam lahannya siap apa enggak. Tanahnya ada apa enggak, gedungnya ada apa enggak," kata Budi dalam Sosialisasi Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Senin (14/4).
Ia menambahkan selain layanan kesehatan gratis dari pemerintah seperti pemeriksaan tekanan darah, gula darah, atau pengobatan tuberkulosis (TBC) dan HIV, unit usaha ini juga diarahkan melayani masyarakat umum secara komersial. Pemeriksaan ringan dan pembelian obat umum akan dikenakan biaya murah agar tetap terjangkau.
"Misalnya periksa sakit perut, periksa batuk-batuk, bayarlah Rp5.000. Kalau yang PBI (penerima bantuan iuran) enggak usah bayar. Tapi kalau yang enggak PBI ya bayar Rp5.000. Atau bisa beli juga obat sakit perut, obat demam, obat segala macam," jelasnya.
Layanan ini nantinya akan ditopang dengan struktur sumber daya manusia (SDM) yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan modal awal obat-obatan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pemerintah juga menyiapkan alokasi operasional sebesar Rp318 juta per unit, serta pelatihan tenaga kesehatan melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik dan nonfisik.
Budi menjelaskan integrasi fasilitas kesehatan ke dalam koperasi desa bertujuan menyatukan berbagai program dan aset yang telah ada. Dengan regulasi yang disiapkan, fasilitas layanan bisa langsung beroperasi sebagai unit usaha koperasi tanpa perlu membangun dari nol.
"Jadi enggak usah nunggu bangun-bangun lagi. Set, begitu keputusannya keluar dalam seminggu udah ada nih 54 ribu unit usaha apotek dan klinik desa," kata Budi.
Menurutnya, struktur koperasi memungkinkan penggabungan unit-unit usaha lainnya, namun fokus utama saat ini adalah klinik dan apotek. Ia juga menekankan pentingnya integrasi layanan untuk mendukung pembangunan ekonomi desa.
"Kalau ekonomi desa maju, enggak mungkin rakyatnya sakit. Jadi mesti sehat," ujarnya.
Ia mengaku beruntung karena saat ini sudah ada 54 ribu fisik tempat layanan kesehatan yang bisa langsung dimanfaatkan, termasuk pustu dan puskesdes. Budi menambahkan dari 54 ribu fasilitas tersebut, sebagian besar sudah memiliki minimal satu perawat atau satu bidan. Pemerintah tinggal melengkapinya, termasuk menambah tenaga apoteker agar pelayanan obat lebih optimal.
Budi juga menyinggung model yang telah diterapkan di India, di mana apotek desa bisa melayani 1 juta orang per hari dan meraih omzet hingga Rp2,6 triliun per tahun. Ia berharap model serupa bisa diterapkan di Indonesia agar akses obat lebih murah dan luas.
"Jadi ini tadi saya laporkan sudah ada, tinggal legalitasnya dikeluarin keputusan presidennya. Itu 54 ribu bisa langsung konversi menjadi unit usaha apotek dan klinik desa dari Koperasi Desa Merah Putih," ujarnya.
(del/pta)