
Ketua Program Studi Meteorologi FITB ITB, Dr. Muhammad Rais Abdillah, S.Si., M.Sc. dan Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr. Heri Andreas, S.T., M.T. (Foto: ITB)
JAKARTA - Indonesia berduka atas kejadian banjir bandang dan longsor Sumatera. Namun ahli Institut Teknologi Bandung (IT) ungkap atmosfer-geospasial penyebab di balik banjir bandang dan longsor Sumatera. Apa itu?
Bencana banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sekitarnya yang terjadi mulai tanggal 24 November 2025 hingga sekarang, menimbulkan dampak kerusakan yang luas.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 27 November 2025, tercatat 34 orang meninggal dunia, 52 warga dinyatakan hilang, serta ribuan penduduk terdampak dan mengungsi. Jumlah tersebut pun dapat mengalami peningkatan.
Peristiwa ini mendapatkan perhatian dari para pakar Institut Teknologi Bandung (ITB), khususnya dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), yang memandang bahwa fenomena ini merupakan dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.
Kondisi Atmosfer dan Puncak Musim Hujan
Peta tiga pola utama curah hujan di Indonesia berdasarkan studi Aldrian dan Susanto (2003), yang telah disempurnakan secara visual oleh Kadarsah (2007). Sumatera Utara termasuk dalam Region B, yang dicirikan oleh pola hujan ekuatorial dengan distribusi bimodal dan dua puncak musim hujan, biasanya terjadi pada periode ekuinoks sekitar Maret dan Oktober. Karakteristik ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengalami musim hujan hampir sepanjang tahun dengan variabilitas presipitasi yang tinggi.
Secara klimatologis, wilayah Sumatera bagian utara memang sedang berada pada puncak musim hujan. Berbeda dengan beberapa wilayah lain di Indonesia, daerah ini memiliki distribusi hujan sepanjang tahun dengan kemungkinan dua kali puncak musim hujan.
Ketua Program Studi Meteorologi, Dr. Muhammad Rais Abdillah, S.Si., M.Sc., dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, menjelaskan bahwa karakteristik curah hujan di wilayah ini memang berbeda dibandingkan daerah lain di Indonesia.
“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya,” ujarnya, seperti dikutip dari laman ITB, Selasa (2/12/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa curah hujan pada periode tersebut tergolong sangat lebat. Berdasarkan data lapangan dan laporan media, sejumlah wilayah mencatat curah hujan lebih dari 150 milimeter, bahkan terdapat stasiun BMKG yang mencatat curah hujan lebih dari 300 milimeter, yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem.
Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem di Jakarta pada awal Januari 2020, yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek, hingga mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari. Kondisi di Sumatera Utara pada akhir November 2025 ini memiliki karakteristik curah hujan yang mendekati peristiwa Jakarta 2020 tersebut, sehingga tidak mengherankan jika dampak banjir dan longsornya cukup luas dan signifikan.
Siklon Tropis Senyar dan Penguatan Sistem Presipitasi
Visualisasi pola angin pada lapisan 850 hPa tanggal 24 November 2025 pukul 22.00 WIB (Local Time), berdasarkan data model GFS dari NCEP/US National Weather Service. Terlihat adanya pusaran angin (vortex) di sekitar wilayah barat Sumatera Utara, yang mengindikasikan sistem tekanan rendah dan awal perkembangan Siklon Tropis Senyar. Pola ini memperkuat suplai uap air dan pembentukan awan hujan, sehingga meningkatkan potensi presipitasi ekstrem di wilayah tersebut. (Sumber visual: Earth.Nullschool)
Menurut Dr. Rais, fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem ini menunjukkan ciri khas adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Sumatera bagian utara.
“Pada tanggal 24 November sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia. Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, meskipun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas,” jelasnya.
Fenomena tersebut kemudian berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat. Meskipun tidak terlalu kuat seperti siklon di Samudra Hindia atau Pasifik, sistem ini cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara.
Tidak hanya itu, Dr. Rais juga mengungkap adanya pengaruh fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik, seperti vortex siklonik dan indikasi cold surge vortex, yaitu hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap serta memperkuat pembentukan awan hujan. Kondisi ini memicu meningkatnya intensitas presipitasi dan memperbesar risiko banjir di wilayah Sumatera Utara.
Penurunan Kapasitas Tampung Wilayah dan Dampaknya


















































