Apresiasi Penuh Makna Bakti Budaya Djarum Lewat Film #KitaBerkebaya

7 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Bakti Budaya Djarum Foundation kembali menyuarakan gerakan pelestarian budaya, khususnya kebaya, melalui film pendek #KitaBerkebaya yang dapat disaksikan di YouTube Indonesia Kaya mulai Kamis, 24 Juli 2025, bertepatan dengan momentum Hari Kebaya Nasional.

Film pendek ini sekaligus menjadi pengingat, kebaya bukan sekadar busana tradisional atau simbol nostalgia, tetapi juga wujud sikap, perlawanan, dan kebanggaan perempuan Indonesia.

Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Renitasari Adrian menyampaikan, dalam Hari Kebaya Nasional 2025, Bakti Budaya Djarum Foundation mengangkat identitas, sejarah, dan peran perempuan dalam perjalanan bangsa melalui sehelai kain yang indah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kebaya bukan sekadar pakaian, namun merupakan cerita hidup yang dikenakan. Melalui #KitaBerkebaya, kami ingin kembali mengingatkan bahwa kebaya merupakan identitas bangsa yang mempersatukan segala kelas sosial dan lintas batas wilayah yang tersebar di seluruh Nusantara dengan berbagai variasi," kata Renitasari.

Renitasari menegaskan, kebaya yang memancarkan keanggunan, juga mencerminkan ketangguhan dan kelembutan perempuan Indonesia.

"Kami ingin kebaya dapat kembali hadir dalam aktivitas sehari-hari, bukan hanya sebagai simbol budaya, tetapi juga sebagai kekuatan ekonomi yang memberdayakan, baik dari penjual kain, penjahit, pembatik, perancang busana, hingga pelaku industri kreatif lainnya di seluruh Indonesia," ujar Renitasari.

Film pendek #KitaBerkebaya menyampaikan beragam ekspresi tentang kebaya, sebagai entitas yang hidup dan terus berkembang seiring waktu. Melalui sudut pandang perempuan, karya ini menelusuri dinamika kebaya sebagai bagian dari perjalanan dan transformasi perempuan Indonesia.

Lebih dari sekadar busana, kebaya ditampilkan sebagai identitas budaya yang relevan, bahkan di era modern, dengan potensi besar untuk dikenakan dalam berbagai aktivitas, baik dalam konteks keseharian maupun dalam forum berskala nasional hingga internasional.

Sutradara #KitaBerkebaya, Bramsky mengatakan, film ini merupakan ruang di mana perempuan dapat menyuarakan sikapnya, bukan lewat teriakan, melainkan melalui benang dan kain yang dikenakan dengan penuh keyakinan.

"Melalui film ini, kami ingin menggambarkan kebaya sebagai sesuatu yang hidup, bukan beku. Sesuatu yang bisa marah, bisa lembut, bisa keras kepala, bisa penuh kasih, seperti perempuan itu sendiri. Kami ingin orang melihat bahwa kebaya juga merupakan saksi perjalanan hidup perempuan yang mengiringi dari masa ke masa, mencerminkan kebijaksanaan dan keindahan yang tumbuh bersama waktu, terus berevolusi namun tetap setia pada jati dirinya. Kebaya adalah cerminan perjalanan, sekaligus pernyataan sikap," papar Bramsky.

Sebagai simbol budaya yang terus berevolusi, kebaya kini juga menyuarakan masa kini dan masa depan perempuan Indonesia. Melalui film pendek #KitaBerkebaya, Bakti Budaya Djarum Foundation ingin membangkitkan kesadaran kolektif bahwa mengenakan kebaya adalah tindakan yang sarat makna, yakni tentang keberanian merawat tradisi, serta merayakan identitas dengan percaya diri di tengah perubahan zaman.

"Semoga #KitaBerkebaya dapat menggugah lebih banyak perempuan untuk kembali menjadikan kebaya sebagai bagian dari keseharian mereka. Bukan karena kewajiban budaya, tapi karena mereka merasa memiliki. Karena saat kita memilih untuk mengenakan kebaya, kita sedang merayakan siapa diri kita sebagai perempuan Indonesia dengan segala kekuatan, keindahan, dan kompleksitasnya," kata Renitasari.

Tak kurang dari 250 perempuan terlibat dalam produksi film ini. Mereka berasal dari berbagai komunitas seperti Kebaya Menari, Abang None Jakarta, Putra Putri Batik, Lestari Ayu Bulan dari Bali, hingga para peserta program Intensif Musikal Budaya dari berbagai daerah.

Film ini juga didukung oleh sejumlah nama besar di dunia seni dan hiburan Indonesia, antara lain Maudy Ayunda, Maudy Koesnaedi, Tara Basro, Dian Sastrowardoyo, Eva Celia, Raihanun, Titi Radjo Padmaja, hingga Andien dan Lutesha.

Bagi Maudy Ayunda, kebaya adalah ruang perlawanan yang lembut, tapi tegas.

"Kita tidak selalu perlu meninggikan suara untuk menyampaikan pendapat, karena kadang, apa yang kita kenakan sudah cukup bicara. Kebaya adalah sikap. Ketika kita mengenakannya dengan sadar, kita sedang memilih untuk berdiri dalam sejarah, tapi pada saat yang sama tetap melangkah ke masa depan," pungkas Maudy Ayunda.

(rea/rir)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |