Bukan La Nina, Ternyata Fenomena Ini yang Bikin Kemarau Basah di RI

23 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Musim kemarau tahun 2025 cenderung lebih basah daripada biasanya, dengan curah hujan cukup tinggi di sejumlah wilayah. Apa penyebab kemarau basah di Indonesia?

Ahli Meteorologi IPB University Sonni Setiawan mengatakan fenomena ini terjadi bukan hanya karena pola monsun dan anomali iklim global, tapi juga dipengaruhi oleh aktivitas Matahari, khususnya sunspot.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sonni menjelaskan fenomena kemarau basah dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, fenomena iklim El Nino dan La Nina, serta Indian Ocean Dipole (IOD).

Menurutnya La Nina saat ini terdeteksi dalam kondisi lemah hingga sedang berkontribusi pada peningkatan curah hujan selama musim kemarau. Sementara, IOD berada dalam kondisi netral. Oleh karena itu, dampaknya terhadap kemarau basah tahun ini relatif kecil.

"Saat ini tidak ada indikasi kuat El Nino atau La Nina, begitu pula dengan IOD. Yang menarik justru adalah aktivitas sunspot yang berulang setiap 11 tahun dan sedang berada pada puncaknya sejak 2024 dan masih aktif pada 2025," jelas Sonni, melansir laman resmi IPB University, Selasa (10/6).

Sunspot merupakan titik-titik gelap di permukaan Matahari yang menandakan aktivitas radiasi tinggi. Ketika sunspot meningkat, Matahari memancarkan lebih banyak partikel energi tinggi seperti sinar kosmik.

Partikel ini dapat mempercepat proses kondensasi di atmosfer dan meningkatkan pertumbuhan awan, sehingga memperbesar kemungkinan hujan deras.

"Sunspot juga memperbesar gradien potensial listrik dalam awan, sehingga hujan disertai petir lebih sering terjadi. Inilah salah satu faktor yang membuat curah hujan meningkat, bahkan di musim kemarau," ujarnya.

Sonni menjelaskan secara ilmiah, istilah musim didefinisikan berdasarkan posisi semu Matahari relatif terhadap pengamat di permukaan Bumi. Ketika Matahari berada di selatan khatulistiwa atau Belahan Bumi Bagian Selatan (BBS), wilayah selatan Bumi mendapat pemanasan akibat radiasi Matahari yang lebih intens.

Menurut dia pemanasan radiasi Matahari di belahan Bumi selatan menyebabkan udara di BBS cenderung memiliki tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tekanan udara di BBU.

Hal tersebut membuat angin bergerak dari belahan BBU ke BBS. Demikian halnya jika Matahari berada di utara Khatulistiwa atau BBU, yang merupakan sebuah siklus musim.

Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University ini mengungkap kondisi saat ini menyimpang dari pola normal.

"Seharusnya, saat musim kemarau, curah hujan menurun. Tapi sekarang, justru hujan terjadi terus-menerus. Ini yang disebut sebagai kemarau basah," ujarnya.

(dmi/dmi)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |