China Waspadai Sepak Terjang PM Baru Jepang, Ada Apa?

3 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

China disebut ikut memperhatikan dengan seksama terpilihnya pemimpin baru Jepang dalam dua tahun terakhir.

Ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) Sanae Takaichi mencetak sejarah sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang.

Di negara yang lama didominasi politisi pria, langkah Takaichi menembus "batas simbolis". Namun di balik sejarah tersebut, kepemimpinannya menandai potensi perubahan besar dalam politik domestik, kebijakan regional, dan hubungan Jepang dengan China.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Takaichi dikenal sebagai tokoh ultrakonservatif yang sejalan dengan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe.

Seperti Abe, ia bersikap tegas soal pertahanan, keras terhadap China, dan berambisi memperkuat peran Jepang di Indo-Pasifik. Ketegasan itu disambut baik oleh sekutu seperti Amerika Serikat dan Australia, tetapi menimbulkan kewaspadaan di Beijing.

Selama ini, Takaichi secara terbuka menyebut China sebagai ancaman strategis. Isu Taiwan dan sejarah masa perang, yang kerap menimbulkan gesekan, diperkirakan akan dihadapi dengan pendekatan yang lebih kaku.

Ia juga dikenal rutin mengunjungi Kuil Yasukuni yang dibangun untuk menghormati tentara Jepang yang gugur, termasuk yang dikategorikan sebagai penjahat perang, dan tidak menutup kemungkinan akan melakukannya lagi dalam kapasitas sebagai perdana menteri.

Terpilihnya Takaichi menjadi PM Jepang terjadi pada momen sensitif: tahun ini menandai 80 tahun kemenangan China dalam "Perang Perlawanan Rakyat terhadap Agresi Jepang."

Beijing memperingatinya dengan parade besar yang dihadiri puluhan pemimpin dunia, menegaskan betapa kuatnya ingatan sejarah tersebut dalam membentuk politik China.

Sosok "Anti-China"

Di media sosial China, Takaichi dijuluki "anti-China" dan "sayap kanan ekstrem." Para pengkritik menuduhnya menjelekkan China, menyangkal Pembantaian Nanjing, dan memperbesar narasi "ancaman China."

Para analis di Beijing juga khawatir ia akan menantang tiga isu "garis merah" China, yakni Taiwan, sengketa wilayah, dan tafsir sejarah.

Secara ekonomi, Takaichi dikenal mendorong "decoupling" atau pemisahan rantai pasok dari China. Saat menjabat sebagai Menteri Keamanan Ekonomi, ia mendesak Jepang untuk memperkuat ketahanan industri dengan mengurangi ketergantungan pada bahan baku dan komponen dari China - kebijakan yang sejalan dengan strategi keamanan ekonomi AS.

Di dalam negeri, kebijakan imigrasi menjadi potensi sumber gesekan baru.

Jepang kini menampung lebih dari 800.000 warga negara China, dan sebagian kalangan menilai jumlah itu berkontribusi terhadap kenaikan biaya hidup di kota-kota besar. Takaichi diperkirakan akan memperketat aturan imigrasi, langkah yang dapat berdampak pada ekonomi dan hubungan bilateral.

Secara regional, kepemimpinan Takaichi bisa memperkuat peran Jepang di kelompok Quad - kerja sama strategis yang melibatkan AS, India, dan Australia.

Sebagai penerus politik Abe, ia diyakini akan melanjutkan visi "Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka," dengan Jepang berperan lebih aktif menghadapi pengaruh China di kawasan.

Isu Taiwan dan era baru Jepang

Taiwan dipastikan menjadi titik panas utama. Takaichi menunjukkan kedekatan dengan Taipei, bahkan menyebut Taiwan sebagai "sahabat berharga" dan mengirim surat pribadi kepada Presiden Lai Ching-te sesaat sebelum dilantik.

Meski kemitraan pertahanan resmi masih jauh, sikapnya itu menegaskan posisi Jepang sebagai salah satu pendukung paling vokal bagi Taiwan,

Jika mengikuti jejak Abe, Takaichi kemungkinan akan memperkuat kemampuan militer Jepang dan memperdalam kerja sama strategis dengan negara-negara sekutu. Langkah ini akan menjadikan Jepang semakin percaya diri dan kurang pasifis dalam urusan keamanan regional.

Bagi China, hal ini berarti babak baru yang lebih sulit dalam hubungan bilateral. Beijing kini harus berhadapan dengan Jepang yang lebih terbuka dalam membahas isu Taiwan, lebih berani mengambil sikap di Indo-Pasifik, dan lebih selaras dengan strategi keamanan Amerika Serikat.

Namun, masih terlalu dini untuk menilai apakah Takaichi mampu mematahkan "kutukan satu perdana menteri per tahun" di Jepang, membangun stabilitas politik, dan meraih dukungan publik. Tantangan domestik seperti stagnasi ekonomi dan penuaan populasi akan menjadi ujian berat bagi kepemimpinannya.

Satu hal yang jelas, kepemimpinan Takaichi bersifat historis bukan hanya karena ia perempuan pertama yang memimpin Jepang, tetapi juga karena arah baru yang mungkin ia bawa - lebih tegas, lebih berani, dan lebih kontroversial di mata Beijing.

Bagi sekutu di Indo-Pasifik, Takaichi bisa menjadi simbol kebangkitan Jepang sebagai kekuatan demokratis di kawasan. Namun bagi China, kehadirannya mungkin justru menandai masa ketidaknyamanan strategis yang baru.

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |