Koalisi Sipil Desak Panglima Cabut Perintah TNI Amankan Kejati-Kejari

19 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan mendesak Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk mencabut Surat Telegram berisi perintah pengerahan prajurit TNI mengamankan lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia. 

Surat telegram dimaksud adalah Surat Telegram (ST) Nomor: ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025. Koalisi sipil menyebut perintah dalam ST itu bertentangan dengan banyak peraturan perundang-undangan, terutama konstitusi, Undang-undang (UU) Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI yang mengatur secara jelas tugas dan fungsi pokok TNI.

"Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil khususnya di wilayah penegakan hukum," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur yang menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan, dalam siaran pers, dikutip Minggu (11/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Isnur mengatakan tugas dan fungsi TNI seharusnya fokus pada aspek pertahanan dan tidak perlu masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Kejaksaan sebagai instansi sipil.

"Apalagi, hingga saat ini belum ada regulasi tentang perbantuan TNI dalam rangka operasi militer selain perang (OMSP) terkait bagaimana tugas perbantuan itu dilaksanakan," ujarnya.

Koalisi, lanjut Isnur, menilai kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjadi dasar pengerahan pasukan perbantuan kepada Kejaksaan. Nota kesepahaman (MoU) tersebut disebut secara nyata telah bertentangan dengan UU TNI.

"Tujuan perintah melalui telegram Panglima TNI itu adalah dukungan pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia," kata Isnur.

Menurut Koalisi, pengamanan institusi sipil penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan tidak memerlukan dukungan dari TNI. Hal itu dikarenakan tidak ada ancaman yang bisa menjustifikasi pengerahan satuan TNI.

Pengamanan institusi sipil penegak hukum, menurut Isnur, cukup dilakukan oleh satuan pengamanan dalam (satpam) Kejaksaan.

"Dengan demikian, surat telegram itu sangat tidak proporsional terkait fungsi perbantuannya dan tindakan yang melawan hukum serta Undang-undang," imbuhnya.

Koalisi menambahkan surat perintah tersebut berpotensi memengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia, karena kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan tugas fungsi pertahanan yang dimiliki oleh TNI.

"Pada aspek ini, intervensi TNI di ranah penegakan hukum sebagaimana disebutkan di dalam Surat Perintah tersebut akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia," tutur Isnur.

"Kondisi ini menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang ada dengan mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan," sambungnya.

Lebih lanjut, Koalisi memandang ST dimaksud semakin menguatkan dugaan masyarakat perihal kembalinya dwifungsi TNI setelah UU TNI direvisi beberapa bulan lalu. Apalagi memang salah satu poin revisi adalah memperluas jabatan sipil yang bisa diduduki oleh TNI.

"Catatan risalah sidang dan revisi yang menegaskan bahwa penambahan Kejaksaan Agung di dalam revisi UU TNI hanya khusus untuk Jampidmil ternyata tidak dipatuhi oleh Surat Perintah ini, karena jelas-jelas pengerahan pasukan bersifat umum untuk semua Kejati dan Kejari," tegas Isnur.

"Dengan semangat penegakan hukum yang adil dan bermartabat, upaya membangun reformasi TNI yang lebih profesional dan jaksa sebagai salah satu pilar penegakan hukum, kami mendesak Panglima TNI mencabut Surat Perintah tersebut dan mengembalikan peran TNI di ranah pertahanan," pungkasnya.

Selain itu, Koalisi mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan untuk memastikan pembatalan ST tersebut sebagai cara untuk menjaga supremasi sipil dalam penegakan hukum di Indonesia yang menganut negara demokrasi konstitusional.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti YLBHI, Imparsial, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative.

Kemudian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, dan lainnya.

Pengerahan prajurit TNI untuk mengamankan lingkungan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia tertuang dalam Surat Telegram (ST) Nomor: ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025. 

Surat itu telah dikonfirmasi oleh Kejaksaan Agung dan TNI AD. Dalam surat tersebut, TNI mengerahkan 1 Satuan Setingkat Peleton (SST) atau 30 personel untuk melaksanakan pengamanan Kejati, dan 1 Regu (10 personel) untuk melaksanakan pengamanan Kejari. Pelaksanaan penugasan pada awal Mei 2025 hingga selesai.

Adapun personel TNI yang ditunjuk untuk melaksanakan pengamanan berasal dari Satuan Tempur (Satpur) dan Satuan Bantuan Tempur (Satbanpur) di wilayah jajaran masing-masing dengan ketentuan penugasan rotasi per bulan.

Penjelasan TNI AD

Kadispenad TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana mengatakan surat telegram itu masuk kategori Surat Biasa (SB) dengan substansi terkait kerja sama pengamanan di lingkungan institusi Kejaksaan.

Wahyu berkata kegiatan pengamanan itu sudah berlangsung sebelumnya dalam konteks hubungan antar satuan. Selanjutnya, pengamanan ke depan adalah dalam rangka kerja sama pengamanan institusi sejalan dengan keberadaan struktur Jampidmil (Jaksa Agung Muda Pidana Militer) di Kejaksaan.

"Sehingga kehadiran unsur pengamanan dari TNI merupakan bagian dari dukungan terhadap struktur yang ada dan diatur secara hierarkis," kata Wahyu.

Ia menambahkan penyebutan kekuatan 1 Peleton (Ton) untuk pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan 1 Regu untuk Kejaksaan Negeri (Kejari) adalah gambaran sesuai struktur yang disiapkan nominatifnya. Dalam pelaksanaannya, kata Wahyu, jumlah personel yang akan bertugas secara teknis diatur dalam kelompok 2 hingga 3 orang dan sesuai kebutuhan/sesuai keperluan.

"TNI AD akan selalu bekerja secara profesional dan proporsional, serta menjunjung tinggi aturan hukum sebagai pedoman dalam setiap langkah dan kegiatannya," kata Wahyu.

(ryn/wis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |