Momen Pangeran Diponegoro Nyaris Meninggal dan Pasukannya Kalah saat Diserang Belanda

11 hours ago 6

Pangeran Diponegoro dan pasukannya tak selalu mulus dalam memberikan perlawanan ke Belanda. Bahkan Pangeran Diponegoro pernah nyaris luka dan tertangkap saat penyerangan Desa Gawok, pada 26 Oktober 1926 ketika Perang Jawa masih terjadi.

Saat itu pasukan Diponegoro yang berasal dari Mataram bergabung atau lini up, dengan pasukan prajurit Kiai Mojo dari Pajang, bergerak menuju Surakarta. Namun, gerakan pasukan ini berhasil ditahan di desa Gawok. Pasukan Diponegoro mengalami kekalahan, pada tanggal 26 Oktober 1926. 

Pangeran Diponegoro terluka, tetapi berhasil meloloskan diri. Sejak kekalahannya di Gawok, penyerangan Diponegoro terhenti, pasukannya mundur ke wilayah Pajang, dan tersebar di beberapa tempat, antara lain, Prambanan, Kalasan, Pulowatu, Jatinom, dan Delanggu, dikisahkan dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia".

Kegagalan menangkap Diponegoro dan menumpas pemberontakan dengan operasi-operasi militer yang dipimpin oleh Jenderal de Kock yang berlangsung lebih dari satu tahun mendapat kritik dari para residen. Mereka mengkritik cara-cara militer dalam melakukan operasi, seperti pembakaran desa, membunuh tawanan, berbuat tercela terhadap perempuan, serta penganiayaan anak-anak.

Aksi-aksi militer yang demikian secara psikologis, politis, dan ekonomis amat merugikan. Hilangnya desa-desa dan penduduk yang berpindah tempat berakibat pada terhentinya perekonomian, pajak tidak dapat dipungut, dan secara psikologis menimbulkan antipati terhadap pemerintah dan militer sendiri.

Di pihak militer jumlah korban semakin meningkat dari hari ke hari. Pada tanggal 25 Maret 1826 Komisaris Kesultanan J.J. van Sevenhoven menulis surat rahasia kepada Komisaris Jenderal Du Bus, mengenai tiga masalah, terutama tentang situasi pemberontakan. la prihatin terhadap nasib para prajurit karena semakin berlarut-larutnya pemberontakan dan mengusulkan agar diadakan pembaruan ketatanegaraan Vorstenlanden sebagai satu-satunya cara untuk mengakhiri pemberontakan.

Pada tanggal 16 Mei 1826, Residen Surakarta MacGillavrij menulis nota yang keras kepada Jenderal de Kock. Ia berpendapat, pemberontakan pada hakikatnya adalah perpanjangan dan kesalahan pembagian kerajaan Mataram pada 1755. 

Pemberontakan akan terjadi terus-menerus sepanjang masih dilakukan pemisahan. la menyarankan penyatuan kembali dua kerajaan itu, dengan menghapuskan kerajaan Yogyakarta. Pada dasarnya MacGillavry tidak mempercayai raja-raja Jawa yang diberi kekuasaan memerintah. Sejak awal tidak ada kepastian hukum dan falsafah bahwa kerajaan Jawa telah takluk.

(Khafid Mardiyansyah)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |