Pandji Terlilit Polemik Candaan Adat, Ini Sejarah Tanah Torajaamp;nbsp;

8 hours ago 3

Pandji Terlilit Polemik Candaan Adat, Ini Sejarah Tanah Toraja 

Pandji Terlilit Polemik Candaan Adat, Ini Sejarah Tanah Toraja. (Foto: tanatorajakab.go.id)

JAKARTA - Komika Pandji Pragiwaksono tengah terlilit candaan soal adat suku Toraja yang ia lontarkan pada 2013 silam. Pandji Pragiwaksono mengangkat materi tentang upacara adat pemakaman Rambu Solo' di Toraja.

Diketahui bahwa candaan itu Pandji lontarkan dalam pertunjukan Mesakke Bangsaku pada 12 tahun lalu. Kemudian, videonya viral baru-baru ini.

Pandji telah berdialog dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. Dalam pembicaraan lewat telepon, Rukka menceritakan dengan sangat indah tentang budaya Toraja tentang maknanya, nilainya, dan kedalamannya. 

"Dari obrolan itu, saya menyadari bahwa joke yang saya buat memang ignorant, dan untuk itu saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang tersinggung dan merasa dilukai," ujar Pandji dalam postingannya, seperti dikutip dari pandji.pragiwaksono, Selasa (4/11/2025). 

Saat ini ada dua proses hukum yang berjalan, yakni proses hukum negara, karena adanya laporan ke kepolisian, dan proses hukum adat. 

"Berdasarkan pembicaraan dengan Ibu Rukka, penyelesaian secara adat hanya dapat dilakukan di Toraja," ujarnya. 

Terkait hal itu, menarik untuk membahas sejarah singkat Tana Toraja. Sebelum menggunakan kata Tana Toraja, daerah ini terkenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, yang berarti negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatan yang merupakan suatu kesatuan yang utuh-bulat bagaikan bulan dan matahari.

Dikutip dari data sejarah Pemkab Tana Toraja, kata Tana Toraja baru dikenal sejak abad ke-17, yaitu sejak daerah ini mengadakan hubungan dengan beberapa tetangga di daerah Bugis: Bone, Sidenreng, dan Luwu.

Ada beberapa pendapat mengenai arti kata Toraja, antara lain dari bahasa Bugis: To = orang, dan Riaja = dari utara. Ada pula yang berpendapat bahwa To Riaja berarti orang dari barat. Begitu menurut pendapat dari Luwu pada permulaan abad ke-19 ketika penjajah mulai merentangkan sayapnya ke daerah pedalaman Sulawesi Selatan.

Tahun 1906, pasukan penjajah tiba di Rantepao dan Makale melalui Palopo. Ketika penjajah itu tiba di Rantepao dan Makale, mereka dihadapi dengan gigih oleh beberapa pemimpin Toraja, antara lain Pongtiku, Bombing, Wa’Saruran, yang menimbulkan banyak korban di pihak penjajah.

Pemerintah Hindia Belanda mulai menyusun pemerintahannya yang terdiri dari distrik, bua’, dan kampung yang masing-masing dipimpin oleh penguasa setempat (puang, parengge’, dan ma’dika).

Setelah 19 tahun Hindia Belanda berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan sebagai onderafdeling di bawah selfbestuur Luwu di Palopo yang terdiri dari 32 lanschaap dan 410 kampung, dan sebagai controleur yang pertama ialah H. T. Manting.

Pada 8 Oktober 1946, dengan besluit LTTG tanggal 8 Oktober 1946 nomor 5 (Stbld. 1946 Nomor 105), onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri sendiri di bawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’.

Landasan Hukum 

Pada saat pemerintahan berbentuk Serikat (RIS) tahun 1946, Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotakan tujuh orang dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI) yang beranggotakan 15 orang.

Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952 diadakan serah terima pemerintahan kepada Pemerintahan Negeri (KPN) Makale/Rantepao, yaitu kepada Wedanan Andi Achmad. Saat itu wilayah yang terdiri dari 32 distrik dan 410 kampung diubah menjadi 15 distrik dan 133 kampung.

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |