Pimpinan Komisi X Usul Kurikulum Antipencabulan di Sekolah-Pesantren

11 hours ago 7

Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian mendorong pemerintah dan DPR untuk segera menyusun kurikulum antipencabulan dan kekerasan seksual di lingkungan sekolah dan pesantren.

Lalu mengatakan lingkungan tempat belajar seperti sekolah dan pesantren mestinya menjadi tempat yang paling aman untuk anak-anak. Namun, di lapangan kondisinya menunjukkan fakta sebaliknya.

"Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati," ujar Lalu dalam keterangannya, Selasa (22/7).

Dia merujuk data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang mencatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2024. Ironisnya, katanya, dari jumlah tersebut 42 persen di antaranya merupakan kasus pencabulan.

Sedangkan, dari total kasus pencabulan 36 persen di antaranya terjadi di lingkungan belajar berbasis agama seperti pesantren.

"Ironisnya, 42 persen di antaranya adalah pencabulan, menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan di satuan pendidikan. Sebanyak 36 persen kasus bahkan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren dan madrasah," kata Lalu.

Politikus PKB itu juga mengungkap bahwa korban kasus pencabulan sebagian besar masih didominasi anak-anak sekolah dasar dan menengah. Dan nahasnya, pelaku kekerasan justru berasal dari kalangan pendidik.

Dia berpandangan perlu ada kurikulum nasional yang sistematis untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan sekolah dan pesantren. Kurikulum tersebut, lanjut Lalu, harus dirancang lintas disiplin untuk mengajarkan anak menghormati tubuh, mengetahui batasan, dan membangun keberanian.

"Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian untuk berkata 'tidak' terhadap pelecehan," kata Lalu.

Pendidikan seksual berbasis perlindungan anak

Menurut Lalu, banyak negara seperti Belanda, Jerman, dan Swedia menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak.

Dia mencontohkan di Belanda yang ada program Kriebels in je buik (Butterflies in your stomach) diperkenalkan sejak usia dini, dengan tujuan membangun pemahaman tentang batas tubuh dan kepercayaan diri anak dalam menolak sentuhan yang tidak nyaman.

Sementara di Swedia, pendidikan relasi dan seksualitas telah masuk dalam kurikulum nasional sejak 1955 dan terus disempurnakan. Ia menyebut pendekatan tersebut terbukti mampu menurunkan angka kekerasan dan meningkatkan kesadaran sosial terhadap perlindungan anak.

Lalu berharap Indonesia tidak tertinggal dalam upaya menghapus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Ia menyebut ada empat langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah bersama DPR.

Pertama, menyusun kurikulum pencegahan pencabulan yang berbasis budaya lokal dan nilai-nilai agama. Kedua, pelatihan guru, pembina pesantren, dan seluruh tenaga kependidikan untuk memahami etika relasi kekuasaan dan sensitivitas perlindungan anak," ujarnya.

Langkah ketiga, membangun sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban, termasuk di lingkungan pesantren yang selama ini minim pengawasan eksternal.

Keempat, memulai pemodelan sekolah dan pesantren percontohan sebagai zona aman (Safe School and Pesantren Zone) guna menunjukkan efektivitas pendekatan preventif.

"Kita tidak bisa lagi menormalisasi kekerasan atas nama pendidikan. Kita tidak bisa diam saat tubuh dan jiwa anak-anak kita dihancurkan oleh mereka yang sejatinya harus menjadi pelindung," kata Lalu.

(thr/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |