Jakarta, CNN Indonesia --
Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Jawa Timur bakal memberikan Hak Kekayaan Intelektual atau HAKI kepada sound horeg. Mereka menilai fenomena ini sebagai karya anak bangsa yang layak mendapat penghargaan.
"Kami ada tugas yang terkait dengan perlindungan terhadap karya anak bangsa. Sound horeg ini sebetulnya kan sebuah nama. Sebuah nama yang dari hasil olah pikir karya dari anak bangsa," kata Kepala Kanwil Kemenkum Jatim Haris Sukamto saat Press Release Capaian Kinerja Triwulan I 2025, Surabaya, Senin (21/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haris mengatakan sound horeg merupakan karya dan ide anak bangsa yang luar biasa. Atas dasar itu, menurutnya, fenomena yang sedang digandrungi di sebagian wilayah Jatim dalam beberapa tahun terakhir ini layak mendapatkan apresiasi dari pemerintah.
Lantas, apa sebenarnya sound horeg dan bagaimana asal-usulnya?
Dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) dari Kemendikbud, kata 'horeg' memiliki arti bergerak atau bergetar. Sementara itu, jurnal 'Jogja Horeg Proses Penciptaan Komposisi Berdasarkan Penerapan Improvisasi Tekstural Pada Gaya Musik Free Jazz' karya Harly Yoga Pradana mengatakan 'horeg' adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno yang memiliki arti gempa atau berguncang.
Pengertian sound horeg secara rinci dijelaskan dalam sebuah jurnal berjudul 'Analisis Hukum Terhadap Penggunaan Sound System yang Melebihi Batas (Sound Horeg) (Studi Kasus Wilayah Hukum Kecamatan Karangploso)' karya Sinta Della Lesgasevia.
Jurnal ini menjelaskan sound horeg merupakan sebuah fenomena yang berkembang di kalangan masyarakat dengan memanfaatkan alat penghasil suara dengan volume yang cenderung tinggi.
Pada awalnya sound horeg merujuk pada penggunaan secara umum, seperti acara-acara besar dalam memutarkan musik, memberikan pengumuman, hingga kegiatan keagamaan maupun kampanye.
Asal usul sound horeg
Sejauh ini belum ada informasi yang menyatakan tentang waktu atau tahun pasti tradisi sound horeg mulai lahir di masyarakat. Namun, Sound Horeg yang menampilkan sebuah tren adu suara menggunakan sound system belum lama muncul.
Melansir Detik, jurnal 'Perkembangan Sound System sebagai Budaya dan Kompetisi Sosial di Desa Sumbersewu, Kecamatan Muncar, Banyuwangi' karya Allya Salsa Bilatul Kh, dkk., mengatakan bahwa terdapat persaingan penggunaan sound system atau adu sound yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di berbagai wilayah Pulau Jawa.
Bahkan terdapat istilah masyarakat 'horeg' yang merujuk pada kelompok orang-orang yang kerap menggunakan sound besar dengan getaran yang mampu dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya.
Adu sound telah menjadi sebuah tren selama beberapa tahun terakhir dan berkembang di wilayah seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Malang, Surabaya, hingga beberapa wilayah lain yang ada di Pulau Jawa.
Awalnya adu sound ini dilakukan menjelang takbiran Idul Adha dan Idul Fitri, tetapi seiring berjalannya waktu terdapat karnaval yang sering dilakukan.
Pro kontra sound horeg
Meski awalnya digunakan untuk memudahkan masyarakat, tetapi penggunaan Sound Horeg mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Penggunaan sound horeg disebut semakin sulit dikendalikan hingga memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat sekitar, terutama yang berkaitan dengan ketertiban umum.
Hal ini dikarenakan sound horeg yang digunakan saat ini cenderung memicu kebisingan hingga penggunaannya dilakukan di waktu yang tidak tepat. Sound horeg bahkan terkadang memicu konflik tertentu di tengah-tengah masyarakat yang merasakan dampak dari suara yang dihasilkannya.
Tidak sedikit masyarakat yang merasa resah dengan fenomena sound horeg. Misalnya, ada saja warga yang mengaku terganggu oleh suara sound horeg yang menurutnya sampai menggetarkan kaca rumah.
Sound horeg yang terdiri dari banyak rangkaian sound system ukuran juga dinilai menjadi masalah buat masyarakat ketika diangkut menggunakan mobil. Karena ukurannya besar, seringkali proses pemindahan sound horeg juga menimbulkan masalah.
(lom/dmi)