7 Sebab Utama Kebakaran Mobil Listrik Sulit Dipadamkan

5 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Kendaraan listrik, meski membawa revolusi otomotif, juga mendatangkan masalah yang belum umum dialami banyak orang.

Salah satunya adalah penyakit sulit dipadamkan ketika kebakaran, yang sejauh ini obat terampuhnya belum ditemukan.

Kebakaran pada kendaraan listrik, misalnya mobil listrik, berbeda dari mobil konvensional. Kebakaran mobil listrik melibatkan reaksi kimia kompleks dan suhu ekstrem yang sulit diatasi dengan metode pemadaman biasa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memadamkan api dari kebakaran mobil listrik sangat sulit dilakukan sendirian. Hal ini bahkan juga masih tantangan besar bagi petugas pemadam kebakaran yang profesional.

Setidaknya ada tujuh alasan utama mengapa kebakaran mobil listrik sangat sulit dipadamkan.

1. Efek berantai thermal runaway

Kebakaran mobil listrik kerap diawali fenomena thermal runaway, yakni reaksi berantai ketika satu sel baterai mengalami panas berlebihan.

Reaksi ini menyebar ke sel-sel lain, menghasilkan api yang terus menyala tanpa memerlukan oksigen dari luar, melainkan dari reaksi kimia internal.

Gas mudah terbakar seperti metana dan hidrogen yang dihasilkan membuat api makin sulit dikendalikan. Bahkan setelah api berhasil dipadamkan, sisa panas di dalam baterai bisa kembali memicu kebakaran.

2. Suhu ekstrem dan risiko ledakan

Kebakaran pada mobil listrik dapat mencapai suhu lebih dari 1.200 derajat Fahrenheit (sekitar 648 derajat Celsius), jauh melebihi suhu kebakaran pada mesin bensin.

Panas ini bisa menyebabkan sel baterai mengembang dan pecah, mengeluarkan gas mudah terbakar yang berpotensi meledak.

Ledakan sekunder yang terjadi dapat memperluas area terbakar dan meningkatkan risiko cedera bagi petugas pemadam. Oleh karena itu, peralatan khusus seperti kamera termal dan pelindung tahan ledakan diperlukan dalam penanganannya.

3. Gas beracun

Kebakaran baterai lithium-ion di mobil listrik tidak hanya menghasilkan api, tetapi juga gas berbahaya seperti hidrogen fluorida (HF), karbon monoksida (CO), metana, dan hidrogen. Gas-gas ini bisa menyebabkan luka bakar, gangguan pernapasan, hingga keracunan fatal jika terhirup.

Penggunaan pendeteksi gas dan perlindungan pernapasan penuh perlu menjadi standar bagi petugas pemadam maupun penyelidik kebakaran di lokasi kejadian.

4. Risiko api kembali menyala

Salah satu tantangan utama kebakaran mobil listrik adalah potensi api menyala kembali berjam-jam atau bahkan berhari-hari setelah dipadamkan. Energi sisa pada sel baterai yang tidak rusak bisa menghasilkan panas yang kembali memicu kebakaran.

Hal ini membuat bangkai mobil listrik usai terbakar tak bisa ditinggal begitu saja dan mesti dipantau berkala menggunakan kamera termal untuk memastikan seluruh sel baterai benar-benar dingin.

5. Air tidak selalu efektif

Metode konvensional seperti menyiram air atau busa yang sering dilakukan untuk memadamkan kebakaran mobil bensin tak bisa dilakukan untuk mobil listrik.

Struktur baterai yang tertutup membuat air sulit menembus dan mendinginkan bagian dalamnya. Bahkan, puluhan ribu liter air mungkin diperlukan untuk mendinginkan satu baterai hingga benar-benar aman.

Sebagai alternatif, ada alat pemadam khusus seperti Class D extinguisher dan selimut api (fire blanket). Keduanya ada yang sudah dirancang khusus untuk kebakaran logam seperti lithium.

6. Struktur kompleks baterai

Baterai mobil listrik terdiri dari banyak modul yang dilindungi beberapa lapisan. Meski struktur ini melindungi baterai dalam kondisi normal, saat terjadi kebakaran, struktur tersebut malah mempersulit proses pendinginan.

Api dapat menyebar antar modul melalui celah. Oleh karenanya pemadaman harus dilakukan per bagian dengan pendekatan yang terfokus dan intensif.

7. Belum ada protokol pemadaman standar

Tidak seperti kebakaran mesin konvensional yang memiliki prosedur tetap, pemadaman kebakaran mobil listrik masih perlu pengembangan. Beberapa negara menggunakan protokol penggunaan air dalam jumlah besar, sementara beberapa yang lain menggunakan bahan kimia khusus.

Ketiadaan standar ini kerap membuat petugas bingung dan penanganan menjadi kurang efektif. Pelatihan khusus EV serta kolaborasi dengan produsen kendaraan menjadi kunci peningkatan respons terhadap insiden.

(job/fea/bac)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |