Jakarta, CNN Indonesia --
Jonatan Christie memutuskan keluar dari Pelatnas Cipayung. Berikut wawancara eksklusif CNNIndonesia.com dengan Jonatan terkait hal tersebut.
Pengumuman resmi Jonatan keluar dari Pelatnas disampaikan pada Kamis (15/5). Keputusan Jonatan untuk keluar Pelatnas Cipayung merupakan kabar yang terbilang besar bagi dunia badminton. Jonatan sudah menghabiskan waktu 12 tahun menempa diri di Pelatnas Cipayung.
Jonatan masuk sebagai pemuda berusia 15 tahun dan meninggalkan Pelatnas Cipayung sebagai salah satu pemain papan atas dunia saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana pandangan dan latar belakang Jonatan hingga mengambil keputusan tersebut? Berikut wawancara eksklusif CNNIndonesia.com:
Bagaimana menjalani hari-hari awal setelah kamu keluar dari Pelatnas Cipayung?
Sebenarnya saya sudah latihan 2-3 hari. Latihan sudah mulai berjalan dan so far oke. Paling masih adaptasi, adaptasi dengan lingkungan baru.
Lalu apakah ada perubahan soal jam latihan?
Tetap pagi-sore. Tetapi menyesuaikan waktu saja. Kadang mungkin bisa lebih pagi, kadang juga mungkin agak siangan. Jadi lebih fleksibel dalam soal waktu.
Kalau di Pelatnas Cipayung kan latihan pagi itu 07.30 terus selesai 10.30. Lalu sore mulai 14.30 sampai 17.00.
Kalau dari durasi waktu latihan kurang lebih sama, cuma bedanya selain di waktu, programnya lebih spesifik ke diri sendiri. Ibaratnya menu latihannya dimakan sendiri.
Kalau di Pelatnas kan mungkin karena bareng beberapa atlet lain, katakan misal 3 jam latihan, tetapi tidak pure 3 jam itu menu latihan dimakan sendiri. Ada momen kita bantu latihan yang lain karena sistemnya saling bantu.
Kalau jarak dari rumah di Kelapa Gading ke Pelatnas Cipayung dibanding Kelapa Gading ke GOR Tangkas sebenarnya mirip-mirip. Cuma yang nggak bisa dikontrol itu fleksibilitas jam latihan. Jadi kalau di Pelatnas tentu harus menyesuaikan jadwal yang ada di sana.
Kemarin juga sempat 1-2 hari dari Kelapa Gading terus hari ketiganya tinggal di Palmerah.
Jadi memang yang jadi pertimbangannya itu agar bisa lebih fleksibel latihan. Misal pagi bisa juga latihan di Kelapa Gading, siang baru ke Tangkas.
Jonatan Cghrist(CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)
Berarti kamu sekarang dipegang sama Vicky Angga sebagai pelatih?
Sementara iya sama Vicky karena dari pas kemarin di Pelatnas kan juga di bantu-bantu juga buat sparring.
Kalau untuk pelatih sendiri, balik lagi seperti yang sempat saya bilang. Basic-nya, saya, Vicky, Koh Hendry Saputra, Bang Aboy [Irwansyah] itu kan memang dari dulu itu ibaratnya satu perguruan lah kalau kita ngomong. Satu perguruan, jadi metode latiannya sama terus program-programnya juga kurang lebih mirip-mirip.
Di Tangkas juga ada Koh Christian yang dulu merupakan asistennya Koh Hendry. Jadi bisa diskusi sama mereka.
Kalau untuk ke Singapore Open nanti didampingi sama Vicky.
Apakah nantinya ada peluang untuk merekrut pelatih yang lebih berpengalaman?
Masih terbuka sih akan hal-hal tersebut. Karena ini kan juga baru start jalan. Jadi masih uji coba sambil memang dilihat nanti next-nya mau seperti apa.
Kamu kemarin sempat bilang ingin berhenti dari badminton habis Olimpiade. Apa yang terjadi sampai kamu berpikiran seperti itu?
Waktu itu saya merasa waktu bersama keluarga benar-benar terkuras. Karena bukan saya saja yang berkorban waktu itu, terapi istri saya yang sedang hamil juga berkorban. Saya harus tinggalkan rumah pada saat persiapan Olimpiade karena saya enggak pulang ke rumah setiap hari saat itu.
Ditambah lagi persiapan yang sudah saya kasih itu 100-200 persen lah. Semuanya sudah dilakukan, untuk goal dan fokusnya di Olimpiade.
Saya menikah Desember 2023 dan Puji Tuhan langsung dikaruniai anak. Sebagai keluarga baru, memang ada saling adaptasi. Istri sedang hamil ada pergumulannya sendiri. Saya juga ada pergumulannya sendiri.
Ibaratnya, istri sudah full support 100 persen, padahal di saat itu dia juga sebenarnya lagi butuh support segala macem dari saya.
Nah itu,ketika pas selesai Olimpiade kalah, saya merasa: "Wah gila, gue sudah ngorbanin, ibaratnya ngorbanin keluarga. Sudah ngorbanin semuanya, sudah ngelakuin ini itu, tetapi hasilnya gak sesuai."
Dalam pemikiran saya setelah kalah, saya berpikir, dalam tanda kutip, saya sudah tinggalkan keluarga untuk sementara saya fokus di Olimpiade. Tapi hasilnya seperti ini.
"Apa selanjutnya?"
"Terus bagaimana?"
Pertanyaan itu yang terus timbul. Sampai akhirnya saya berpikir: "Masa keluarga gua, gua tinggalin untuk bulu tangkis. Sedangkan Olimpiade sudah berakhir. Dan untuk Olimpiade selanjutnya mungkin gak akan gampang."
Itu pemikiran saya waktu pas kalah itu.
Jadi hal itu membuat saya berpikir: "Ya sudah stop saja ya, berhenti saja ya, sudah cukup ya."
Saya ingat banget waktu itu ngomong ke Bang Aboy,"Bang, saya kayaknya sudah mau stop deh. Sudah gak mau main bulutangkis lagi."
Karena pikiran saya ya sudah, mau apa lagi. Olimpiade ini mungkin kesempatan yang orang bilang golden age-nya sudah ada di sana. Tapi hasilnya apa? Gak ada juga. Saya sudah korbankan semuanya, segala macam.
Akhirnya apa yang saya dapat? Keluarga, istri saya, saya tinggalkan sementara waktu itu. Terus juga sudah fokus untuk bulu tangkis, tetapi hasilnya seperti itu.
Itulah yang membuat timbul pemikiran untuk pensiun seperti itu.
Sebenarnya waktu kamu kalah dari Lakhsya Sen, apa yang terjadi? Apa kamu merasa terbebani?
Banyak pengalaman yang saya rasakan sebelum Olimpiade, terutama waktu pas Asian Games di China. Dari Asian Games itu, saya hire psikolog pribadi dengan tujuan Olimpiade ke depannya. Jadi, apa yang terjadi di Asian Games, enggak boleh terulang di Olimpiade.
Saya sempat ngobrol sama psikolog, bercerita bahwa saya punya tujuan di beberapa turnamen yang terdepan, sebelum Olimpiade.
Jadi waktu itu turnamen sudah dikelompokkan. Ada All England, terus Thomas Cup. Jadi memang lebih bicara soal non teknis sama psikolog. karena tiap turnamen, pressure-nya pasti berbeda.
Itu yang saya ingin jadikan batu loncatan buat persiapan menuju Olimpiade.
Habis tiga pertandingan enggak pernah kalah di All England, BAC, dan Thomas Cup, kan tinggal dua pertandingan tersisa sebelum Olimpiade. Di Singapura dan Indonesia.
Dan itu kansnya besar sekali untuk saya dapatkan ranking dua. Dari situ menurut saya penting banget. Saya diskusi sama psikolog pribadi bahwa saya ingin ada di seeded dua.
Karena saya berharap mendapat seeded lebih tinggi otomatis akan mendapat grup atau musuh-musuh yang tidak langsung berat.
Singkat cerita, di Singapura kalah, di Indonesia juga kalah. Dari situ, saya merasa bahwa terlalu menggebu-gebu juga enggak bagus. Itu hasil evaluasi saya dengan psikolog.
Kemudian masuk ke drawing. Dalam drawing, saya seeded ketiga. Di situ tiba-tiba yang lain, seeded satu, dua, dan empat nggak main di 16 besar. Mereka dapat bye di babak 16 besar.
Selain itu seeded satu dan seeded empat ada di grup yang hanya berisi tiga orang. Sedangkan saya, 16 besar harus main. Kemudian, satu grup berisi empat orang.
Isi empat orang ini juga tidak mudah. Jadi kayak wow, cukup perjuangan gitu rasanya. Tetapi ya sudahlah, saya tahu itu berat. Nggak ada pertandingan Olimpiade yang nggak berat, ya sudah.
Kemudian persiapan, semua persiapan cukup baik, berjalan dengan lancar. Dalam training camp juga saya fokus luar biasa. Saya sudah singkirkan terlebih dulu kondisi istri yang sedang hamil. Semua, segala macam fokus saya total di Olimpiade. Sampai akhirnya mainlah di Olimpiade.
Ternyata main dengan momen yang berbeda. Di Tokyo, kosong, sepi. Karena covid gak ada penonton. Tiba-tiba saya datang ke Olimpiade Paris dengan ranking dan seeded tiga. Terus penontonnya full, cukup kaget waktu itu.
Babak pertama langsung ramai. Lampunya juga jelas, enggak digelapin di bagian penonton. Jadi penonton yang paling atas pun kelihatan.
Jadi terlihat penonton-penonton, orang-orang NOC, segala macam.
Laga pertama, rubber. Nggak mudah juga. Akhirnya ada diskusi lagi dengan psikolog, dengan bang Aboy juga. Kenapa bisa rubber, segala macam.
Kemudian, waktu itu Kevin Cordon mundur. Akhirnya bertemu Lakshya Sen di laga terakhir. Lakshya Sen sebenarnya untuk dibilang pressure, ya pasti Olimpiade ingin menampilkan yang terbaik. Apalagi saya sudah korbankan keluarga.
Saya sudah maksimal dari yang saya bisa lakukan, seperti hire psikolog pribadi sendiri. Semua sudah saya coba. Saya nggak pulang ke rumah.
Jonatan Christie terhenti di fase grup di Olimpiade Paris 2024. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Dengan itu, pastilah ada keinginan untuk mendapatkan yang terbaik ketika sudah melakukan hal maksimal yang bisa dilakukan.
Kemudian saat main, dari teknisnya, memang ada kondisi menang dan kalah angin. Ada kondisi di mana lapangannya oke. Kondisi pertama itu sebenarnya saya sudah leading jauh.
Sudah leading jauh sudah, terus tiba-tiba pelan-pelan akhirnya kalah. Itu padahal gim pertama sebenarnya adalah momen penting untuk di pertandingan besar.
Apalagi kondisi lapangan gim pertama itu adalah lapangan yang menguntungkan untuk saya karena dalam kondisi kalah angin. Setelah kalah di gim pertama, saya tetap coba untuk gim kedua. Saya coba, coba, coba, coba, tapi entah kenapa kayak situasi nggak ada yang berpihak saja. Sudah coba segala cara yang saya punya. Pada saat tu saya lakukan semua segala macam sampai akhirnya kalah.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>