Keindahan Pemandangan Jembatan Lahor, Warisan Lintasan Kereta Malang - Blitar Era Hindia Belanda

1 day ago 6

Keindahan Pemandangan Jembatan Lahor, Warisan Lintasan Kereta Malang - Blitar Era Hindia Belanda

Jembatan Lahor di Malang jadi Destinasi Wisata baru

MALANG - Jembatan Lahor Malang menjadi penghubung utama jalur perkeretaapian di selatan Pulau Jawa. Jembatan ini merupakan warisan peninggalan Belanda yang membentang di atas Sungai Lahor, yang merupakan anak Sungai Brantas.

Jembatan Lahor Karangkates membentang kokoh setinggi 30 meter di atas Sungai Lahor, menyuguhkan pemandangan memukau berupa Bendungan Sutami yang tenang, dikelilingi hamparan perbukitan hijau, langit biru yang membentang luas, serta hutan di perbatasan Kabupaten Malang dan Blitar.

Momen saat kereta melintasi jembatan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penumpang, khususnya di lintas selatan, terutama pada pagi atau sore hari ketika cahaya matahari menyempurnakan keindahan panorama.

Apalagi setiap hari tak kurang puluhan kali kereta api baik jarak jauh, dan kereta api lokal atau commuter line melintasi jembatan ini. Jembatan ini kini dirawat oleh PT KAI DAOP 8 Surabaya, yang memiliki daerah operasional hingga Stasiun Wlingi, di Kabupaten Blitar.

Pemerhati sejarah perkeretaapian Tjahjana Indra Kusuma menyatakan, jembatan dibangun semasa kependudukan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1895 oleh Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik Hindia-Belanda, yang menjadi cikal bakal berdirinya perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI). Jembatan ini dirancang usai lintas Kertosono - Kediri - Tulungagung - Blitar, sudah terhubung resmi pada 16 Juni 1884, serta lintas Bangil, Pasuruan - Malang.

"Jadi pemerintahan Belanda saat mulai merencanakan kereta api lintas Blitar - Malang tahun 1893. Pengangkutan hasil bumi di sekitar Blitar-Malang, berupa kopi, gula, karet, indigo dan agave, serta membuka dan memperlancar perhubungan antar daerah adalah tujuan awal lintas ini dibuka," ucap Tjahjana Indra Kusuma, dikonfirmasi Okezone.

Menurutnya, jaringan perkeretaapian di Malang selatan dan menghubungkan ke Kabupaten Blitar diawali dari pengerjaan lintas Malang kota ke Kepanjen, pada 1895 semasa Gubernur Jenderal Belanda Herman Aart Van Der Wijck. Proses pelelangan awal dengan firma yang mencatat penyedia dokumen lelang bernama Martinus Nijhoff. Dokumen itu berisikan gambar detail, teknis, serta semua syarat pembuatan jembatan.

"Dalam perencanaan teknis, jembatan ini berbentang total 160 meter, dengan 3 pilar penyangga baja komposit berjarak masing-masing 40 meter. Pilar tertinggi berukuran 36 meter dari permukaan sungai," tuturnya.

Pengukuran kelandaian sesuai standar, serta pengadaan sarana pendukung berupa jembatan, juga tak kalah rumit dan memerlukan waktu singkat. Jembatan dipersiapkan secara teknis guna melintas beberapa sungai di lintas ini, antara lain Sungai Metro, Sungai Bambang, Sungai Dali dan Sungai Lahor, dengan konstruksi berangkat baja terbuka, dengan lantai kendaraan di bagian atas.

"Pelelangan jembatan ini dibuat oleh Kementrian Koloni bagian Biro Teknik, sepaket dengan Jembatan Metro. Pelelangan dimenangkan oleh Firma Fried Krupp dari Essen dengan penawaran total sebesar (florin) f 49.785. Lokasi jembatan ini berada pada KM 86+230 atau 300 meter dari sinyal muka halte Pohgajih dari arah Malang," jelasnya.

Lokasi jembatan di pegunungan dengan sungai - sungai di bawahnya menjadi tantangan tersendiri. Apalagi saat itu belum ada teknologi canggih konstruksi layaknya pembangunan jembatan atau konstruksi infrastruktur seperti saat ini, jadi penyebabnya.

"Pakai katrol sederhana yang ada kuncinya itu. Teknologi tuas dan katrol sudah dipakai sejak Mesir, saat membangun Piramid. Dari katrol sederhana dengan beda putaran diaplikasikan jadi lift," ucapnya.

"Jadi relnya dipasang dulu, mendekati jembatan, untuk mengangkut material yang masih terburai potongan - potongan yang nantinya disambung dengan baut dan paku keling di lokasi," tambahnya.

Pembangunan jembatan itu tidak melibatkan arsitek bangunan secara khusus. Sebab secara spesifikasi dan peruntukkan disebut Indra, cukup oleh aristektur sipil, serta yang penting teknik dan hitungan bebannya tepat sehingga jembatan bisa terbangun.

"Kalau struktur baja tidak butuh arsitek, tapi hitungan dimensi atau bentuk baja minimal yang perlu untuk nahan beban rencana di masing - masing elemen rangkanya. Jadi cukup insinyur sipil, tidak butuh keindahan, tapi hitungannya kuat dan aman saat dibebani," ujarnya.

Meski demikian, proses pembangunan jembatan itu disebut Indra melibatkan beberapa pekerja dari kaum pribumi atau penduduk lokal. Tapi tidak ada jumlah data berapa pekerja yang dikerahkan. Namun yang jelas proses pembangunan jembatan berlangsung selama kurang lebih dua tahun.

"Jalur Blitar-Malang terhubung setelah segmen Kepanjen-Wlingi tuntas selesai, dan dibuka resmi pada 30 Januari 1897," tegasnya.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari

Follow

Berita Terkait

Telusuri berita travel lainnya

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |