Menari Bersama Roh: Arat Sabulungan dan Napas Terakhir Sikerei di Matotonan

1 day ago 4

Rus Akbar , Jurnalis-Kamis, 29 Mei 2025 |07:55 WIB

 Arat Sabulungan dan Napas Terakhir Sikerei di Matotonan

Ritual eeruk uma pembersihan rumah klan dari roh-roh jahat sedang berlangsung (Foto: Rus Akbar/Okezone)

Di tengah kabut malam yang menggantung di lembah-lembah hutan hujan Siberut, bunyi gajeumak, gendang yang terbuat dari kulit ular piton dan biawak menggema dari sebuah uma (rumah adat) di Dusun Marui Baga, Desa Matotonan, Mentawai. Di sana, tubuh-tubuh lentur para Sikerei meliuk mengikuti irama, kaki menghentak papan kayu lantai uma. Ritual eeruk uma pembersihan rumah klan dari roh-roh jahat sedang berlangsung.

Majan Siritoitet, seorang Sikerei (tabib) yang dihormati di dusun itu, berada di tengah-tengah pusaran upacara. Ia menari dengan mata setengah terpejam, jari-jarinya memegang bulug daun-daun khusus yang digunakan untuk menyapu roh. Bersama delapan Sikerei lain, termasuk bajak (pamannya), mereka menari, menyanyikan mantra, dan mengundang roh-roh leluhur untuk membantu menyembuhkan dan menyeimbangkan.

Tiba-tiba, seorang perempuan tua yang sedari tadi hanya duduk, tersentak. Tubuhnya menggigil, lalu bergerak tak terkendali. Ia bangkit, memegang seikat daun, lalu ambruk seperti kehilangan kesadaran. Majan segera mendekat, mengambil buluat (bambu berisi air daun) dan memercikkan cairan itu ke tubuh sang ibu. Seketika, tubuh itu tenang. Perempuan itu sadar kembali, lalu ikut menari, menyatu dalam tarian penyembuhan.

Ritual ini, yang diwariskan sejak zaman nenek moyang, terus hidup meski penduduk Matotonan secara administratif telah memeluk agama-agama resmi negara. Data penduduk menunjukkan, ada 1.118 pemeluk Islam dan 291 Katolik di desa itu. Namun di balik label keagamaan itu, kepercayaan kuno mereka—Arat Sabulungan—masih hidup, berdenyut dalam upacara, dalam hutan, dan dalam tubuh para Sikerei.

“Kalau uma tidak dibersihkan, kami bisa sakit. Roh-roh yang bersemayam di sana harus dilepaskan,” kata Majan Siritoitet, usai ritual. Baginya, setiap daun, angin, dan batu memiliki roh. Bila dilukai tanpa izin, bisa mendatangkan bajou—energi negatif yang menimbulkan penyakit.

Arat Sabulungan, menurut antropolog Herman Sihombing dan Maskota Delfi, berasal dari kata arat (adat/agama) dan bulungan (daun). Tambahan awalan sa- dan akhiran -an menjadikannya bermakna "sekumpulan daun-daunan". Daun-daunan itu bukan sekadar simbol: mereka adalah alat komunikasi dengan roh, sarana penyembuhan, dan penghubung antara dunia manusia dan dunia tak kasat mata.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari

Follow

Berita Terkait

Telusuri berita travel lainnya

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |