Jakarta, CNN Indonesia --
Radang tenggorokan kerap dianggap sepele, terutama pada anak-anak. Namun, di balik gejala yang tampak ringan seperti nyeri menelan dan demam, kondisi ini bisa memicu penyakit jantung reumatik yang mengancam nyawa bila tak ditangani tepat.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rizky Adriansyah, menjelaskan bahwa penyakit ini bisa bermula dari infeksi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus grup A (SGA) yang tidak segera diobati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Radang tenggorokan akibat infeksi SGA dapat berkembang menjadi demam rematik, yaitu reaksi sistem kekebalan tubuh yang muncul 1-5 minggu setelah infeksi awal," ujar Rizky dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (11/11).
Demam rematik ini, lanjutnya, bisa menyerang sendi, kulit, hingga jantung.
"Jika menyerang ke jantung, bisa menyebabkan kecacatan pada katup jantung. Inilah yang disebut penyakit jantung reumatik," imbuhnya.
Kondisi tersebut bahkan dapat memicu gagal jantung dan stroke jika tidak ditangani dengan cepat.
Gejala yang harus diwaspadai
Radang tenggorokan akibat infeksi SGA biasanya ditandai dengan demam tinggi lebih dari 48 jam, nyeri menelan tanpa batuk, amandel merah bengkak, dan nyeri pada kelenjar leher. Pada beberapa kasus, juga muncul ruam kemerahan di kulit.
Gejala demam rematik sendiri dapat muncul beberapa minggu setelah infeksi awal, seperti:
• Nyeri dan bengkak pada sendi yang berpindah-pindah.
• Ruam merah berbentuk lingkaran pada kulit.
• Sesak napas, mudah lelah, jantung berdebar, atau bengkak pada tungkai.
• Gerakan gelisah tak terkendali seperti menari (dikenal dengan istilah Khorea Sydenham).
Apabila anak mengalami demam tinggi lebih dari dua hari dan tidak membaik dengan obat penurun panas, orang tua disarankan segera membawanya ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang tepat.
Risiko di Indonesia masih tinggi
Indonesia termasuk negara endemis penyakit jantung reumatik. Angka kematiannya mencapai 4,8 per 100.000 penduduk, lebih tinggi dibanding malaria yang sebesar 3 per 100.000 penduduk.
Data dari UKK Kardiologi IDAI tahun 2018 menunjukkan hanya 6 dari 10 anak yang mampu bertahan hidup setelah delapan tahun terdiagnosis penyakit ini. Sementara 4 dari 10 anak mengalami kerusakan katup jantung progresif setelah diagnosis.
"Tantangan utama dalam penanganannya kompleks. Mulai dari deteksi dini yang rendah, ketidakpatuhan minum obat, hingga terbatasnya ketersediaan Benzatin Penisilin G (BPG), obat suntik utama untuk pencegahan sekunder," kata dia.
BPG merupakan antibiotik yang harus diberikan setiap 3-4 minggu untuk mencegah kekambuhan demam rematik dan memperparah penyakit jantung reumatik. Namun, ketersediaannya di rumah sakit daerah sering kali terbatas.
Menurut Rizky, pencegahan adalah kunci utama untuk menurunkan risiko penyakit jantung reumatik pada anak.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan:
• Mengobati infeksi tenggorokan akibat bakteri SGA hingga tuntas dengan antibiotik selama 10-14 hari.
• Menjaga kebersihan diri dan lingkungan: rajin cuci tangan, tidak berbagi alat makan, dan menutup mulut saat batuk atau bersin.
• Memastikan rumah dan sekolah memiliki ventilasi yang baik.
Sedangkan pencegahan sekunder penting bagi anak yang sudah pernah mengalami demam rematik.
"Anak perlu mendapat suntikan BPG secara rutin minimal lima tahun atau hingga usia 21 tahun, tergantung tingkat keparahan kerusakan katup," jelas Rizky.
Selain itu, orang tua juga diimbau menjaga kebersihan alat makan, memastikan anak tidak bertukar sendok atau botol minum, serta memberi waktu istirahat dan masker jika anak sakit tenggorokan agar tidak menular ke teman sebaya.
(tis/tis)

2 hours ago
2

















































