Tepatkah OJK Wajibkan Peserta Asuransi Tanggung 10 Persen Biaya Rawat?

1 day ago 6

Jakarta, CNN Indonesia --

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan baru yang mewajibkan peserta asuransi ikut menanggung 10 persen biaya perawatan.

Ketentuan itu diatur dalam Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, yang menyebut produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment).

Jadi, pemegang polis harus menanggung 10 persen atau maksimal Rp300 ribu per pengajuan klaim rawat jalan. Untuk rawat inap, pemegang polis harus menanggung 10 persen atau maksimal Rp3 juta per pengajuan klaim rawat jalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

OJK memperbolehkan perusahaan asuransi menerapkan batas maksimum yang lebih tinggi. Namun, hal itu harus dinyatakan dalam polis asuransi dan disepakati antara perusahaan dengan pemegang polis.

OJK hanya memberlakukan ketentuan ini pada produk asuransi kesehatan dengan prinsip ganti rugi (indemnity), dengan skema pelayanan kesehatan yang terkelola (managed care).

"Pembagian risiko (co-payment) sebagaimana dimaksud pada angka 3 sampai dengan 5 dikecualikan untuk produk asuransi mikro," bunyi SEOJK Nomor 7 Tahun 2025.

Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai kebijakan ini sudah tepat. Menurutnya, aturan ini penting untuk menjaga kesehatan industri asuransi kesehatan Indonesia.

Dia menilai industri asuransi kesehatan di Indonesia selama ini terbebani oleh biaya kesehatan yang terus meningkat. Pada saat bersamaan, mereka tidak bisa leluasa menaikkan biaya polis karena berpotensi ditinggalkan nasabah.

"Saya kira sudah pada tempatnya ya karena kita selama beberapa tahun ini kan dihadapkan pada isu inflasi medis atau meningkatnya klaim kesehatan yang terus-menerus melonjak," kata Irvan saat dihubungi Rabu (4/6).

Dia berkata perusahaan asuransi selama ini juga dihadapkan pada persoalan penggunaan yang terlalu atau overutilization. Baik pasien ataupun rumah sakit mendorong diagnosis berlebihan sehingga beban yang ditanggung perusahaan asuransi semakin besar.

Irvan berpendapat kewajiban peserta asuransi ikut menanggung 10 persen biaya perawatan bisa menekan potensi hal itu terjadi kembali.

"Sehingga perlu ada semacam sharing dari nasabah untuk ikut menanggung agar tidak semena-mena menggunakan asuransi itu karena merasa sudah ditanggung atas pengobatannya atau diagnosisnya berlebihan," ucapnya.

"Termasuk kalau rumah sakit melakukan penggunaan yang berlebihan, dengan sendirinya nasabah ikut terimbas, nasabah juga atau pasien harus lebih kritis ketika menghadapi diagnosis," ujar Irvan.

Pendapat senada disampaikan Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim. Dia mengatakan kebijakan ini bisa menghilangkan risiko moral atau moral hazard yang selama ini ada di dunia asuransi.

Abitani megatakan sebenarnya praktik co-payment sudah diterapkan beberapa asuransi dalam kerja sama dengan perusahaan di Indonesia. Perusahaan mewajibkan karyawan membayar 10-20 persen dari biaya rawat jalan dan inap.

"Ini salah satunya untuk mengurangi potensi moral hazard atau meng-abuse biaya pengobatan. Ini berlaku untuk dua belah pihak supaya karyawannya atau pemegang polisnya juga lebih menjaga kesehatan, kemudian dokter-dokternya atau fasilitas kliniknya juga jangan membebankan sesuatu yang berat," ucap Abitani.

Dia mengatakan praktik serupa juga dilakukan negara-negara maju. Sebagian negara juga menerapkan ekses klaim atau biaya yang tidak bisa ditanggung perusahaan asuransi kesehatan karena di bawah atau melampaui batas yang ditentukan.

Abitani yakin aturan peserta asuransi ikut menanggung 10 persen biaya perawatan akan membuat industri asuransi kesehatan lebih baik. Namun, dia berharap perusahaan asuransi juga menyesuaikan biaya premi.

"Apakah ini akan menjadi beban perusahaan kepada nasabah? Saya bilang ya, sedikit ada perubahan, tetapi kan tadi premi mungkin akan lebih murah," ujarnya.

[Gambas:Video CNN]

(pta)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |