Jakarta, CNN Indonesia --
Kasus dugaan suap dan atau gratifikasi yang melibatkan Hakim terkait putusan lepas (ontslag van alle recht vervolging) tiga terdakwa korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit atau CPO yang dibongkar Kejaksaan Agung menambah daftar panjang aparatur peradilan berhadapan dengan hukum.
Sebanyak empat hakim, satu panitera dan dua pengacara ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka ialah majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengadili perkara tiga korporasi (PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group dan PT Musim Mas Group) yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan; serta pengacara korporasi ekspor CPO yakni Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri juga diproses hukum.
Jaksa penyidik pada JAMPIDSUS Kejaksaan Agung menduga ada suap sekitar Rp60 miliar di balik putusan lepas tiga terdakwa korporasi tersebut.
Kasus itu ditemukan jaksa penyidik saat sedang menangani perkara di PN Surabaya yang melibatkan Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang menjadi mafia peradilan.
Dalam kasus Zarof, ada tiga orang mantan hakim PN Surabaya, satu pengacara dan ibu seorang terdakwa yang diproses hukum atas kasus dugaan suap dan gratifikasi di balik putusan bebas Gregorius Ronald Tannur (31), terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti.
Yang paling fenomenal dan masih di ingatan publik ialah kasus korupsi yang melibatkan hakim MK yaitu Patrialis Akbar dan Akil Mochtar.
Kejaksaan Agung, Kepolisian dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga pernah didera oleh kasus hukum yang melibatkan pegawainya.
Lantas, apa yang salah dan perlu diperbaiki agar peristiwa ironis tersebut tidak berulang?
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menyoroti sistem peradilan yang belum berfungsi dengan baik. Kata dia, sulit untuk mengatakan kasus-kasus yang terjadi selama ini hanya persoalan oknum belaka.
"Kalau kita lihat, karena ini terlalu banyak dan ini berada dalam satu sistem yaitu sistem peradilan, sulit kita bilang ini sebagai suatu hal yang personal gitu ya atau masalah oknum," ujar Fadhil saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (14/4) malam.
Fadhil menyatakan permasalahan yang terjadi saat ini harus dipandang sebagai sesuatu yang sistemik, sehingga solusi atau upaya-upaya untuk mendorong perubahan juga harus sistematis.
"Karena orang-orang ini kan bukan karena dia melakukan korupsi gitu ya tapi atribusi yang dia pegang dan sistem yang dia jalankan. Jadi, itu yang kemudian menjadi ceruk bagi dia untuk melakukan korupsi. Kebetulan dia hakim, kebetulan dia jaksa, kebetulan dia polisi," ungkap Fadhil.
"Nah, maka dengan berbagai macam kebetulan itu dia melakukan korupsi, tapi kebetulan ini terlalu banyak untuk kita bilang hanya sebagai kebetulan," sambungnya.
Negara belum serius perbaiki sistem peradilan
Fadhil berpendapat hingga saat ini belum ada upaya serius dari negara untuk memperbaiki ini. Meski regulasi yang dibuat pascareformasi dinilai progresif, tetapi belum mampu mengatasi masalah-masalah kiwari.
"Kalau kita lihat dalam rentang waktu itu ya kita bisa bilang enggak ada upaya serius gitu ya. Niatnya di awal oke, ada TAP MPR soal penyelenggaraan bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), kemudian Undang-undang Penyelenggaraan Negara Bersih KKN. Ada tuh," tutur Fadhil.
"Ada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang KPK walaupun dinamikanya banyak dan pada akhirnya upaya pemberantasan korupsi juga dibajak di 2019 dan sampai sekarang kita enggak bisa lihat suatu upaya yang seperti dulu lagi, yang tegas dan punya semangat untuk membersihkan negara dari korupsi," lanjut dia.
Negara, tutur Fadhil, sebenarnya menyadari namun tidak merespons itu sebagai sesuatu masalah. Ia menambahkan regulasi bukan menjadi faktor tunggal untuk memperbaiki masalah yang tengah terjadi.
Mengutip teori penegakan hukum Lawrence M. Friedman, Fadhil menyatakan keberhasilan penegakan hukum bergantung pada tiga unsur sistem hukum yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
"Jadi, kalau kita lihat di sini regulasi cuma salah satu tapi kalau spesifik soal korupsi Itu ada lagi rumusnya tuh korupsi sama dengan monopoli plus diskresi, kurang akuntabilitas," ungkap Fadhil.
"Jadi, banyak yang bisa kita lihat sebagai penyebab korupsi ketimbang hanya satu substansi gitu ya atau satu regulasi, tapi kalau regulasinya juga enggak bagus sebenarnya dia sama parahnya," imbuhnya.