Apakah Presiden Baru Korsel Bisa Bujuk Kim Jong Un buat Dialog Damai?

12 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Korea Selatan kini mempunyai presiden baru setelah huru-hara darurat militer pada tahun lalu, Lee Jae Myung.

Dalam pemilu yang digelar pada 3 Juni, Lee mengantongi 49 persen suara dan lawannya dari partai Kekuatan Rakyat (People Power Part/PPP) Kim Moon Soo 41. 3 persen.

Korsel dan Korut hingga kini berselisih. Hubungan mereka kian tegang dalam beberapa tahun terakhir. Di pemerintahan sebelumnya, Seoul sempat berupaya untuk berdialog dengan Pyongyang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 2018 lalu, pemimpin tertinggi Korut bertemu dengan Presiden Korsel saat itu Moon Jae In. Salah satu isu yang terus dibahas adalah denuklirisasi Semenanjung Korea.

Namun, seiring pergantian pemerintah proses itu tak berlanjut. Lalu, apakah di bawah pemerintahan Lee, Korsel dan Korut akan berunding kembali?

Selama kampanye, Lee menjanjikan keterlibatan aktif dengan Korut, berbeda dengan presiden yang dimakzulkan Yoon Suk Yeol.

"Saya akan memulai kembali untuk membuka kanal komunikasi dengan Korea Utara dan menetapkan perdamaian di Semenanjung Korea melalui dialog dan kerja sama," kata Lee, dikutip Euro News.

Dalam analisis Radio Free Asia, mereka menuliskan Korsel bisa saja meniru semangat 2018 untuk membuka dialog dengan negara tetangganya. Namun, pertanyaan saat ini adalah apakah Korut tertarik dan bersedia melanjutkan dialog dengan Negeri Ginseng?

Pertemuan pada 2018, dianggap gagal mencegah Korea Utara mengembangkan program senjata nuklir. Sejak saat itu, Korut menjalin hubungan erat dengan Rusia.

Korut bahkan membantu Rusia dengan mengirim pasukan ke sana untuk melawan Ukraina. Situasi ini memicu kecemasan global termasuk Korsel dan memicu potensi konflik.

Sementara itu, dosen hubungan internasional di Universitas Oxford Edward Howell, mengatakan meski Korut lebih cenderung memilih Lee dari pada kandidat lain tetapi hanya sedikit peluang mereka bisa berdialog.

"Posisi Lee terkait Korea Utara sudah diketahui secara luas, dan pemerintah berhaluan kiri di masa lalu lebih menyukai kebijakan keterlibatan dan dialog dengan Korea Utara daripada kebijakan yang melibatkan sanksi, kata Howell, dikutip Euro News.

Korut, menurut dia, akan senang dengan perubahan signifikan kebijakan Korsel saat ini.

"[Namun] Pyongyang belum menunjukkan, jika ada, niat terlibat dalam perundingan dengan Seoul selama empat tahun terakhir," imbuh Howell.

Lebih lanjut, Howell menjelaskan jika pada akhirnya pembicaraan digelar, dia menduga dialog bakal berlangsung singkat dan tak berdampak.

Dia lalu menyebut ada risiko Korut akan menolak terlibat dalam dialog dengan Korsel meski ada tawaran dari Korea Selatan.

"Pertanyaannya adalah apakah dialog antara Lee dan Kim Jong Un akan berdampak nyata pada denuklirisasi Korea Utara dan pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintahan Moon Jae In menunjukkan dengan jelas bagaimana dialog semacam itu hanya berlangsung sebentar," ujar Howell.

(isa/bac)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |