Bolehkan Donor Organ dalam Pandangan Islam?

1 hour ago 2
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Perkembangan dunia medis modern telah melahirkan banyak metode pengobatan baru. Salah satunya adalah transplantasi organ, sebuah teknologi yang dianggap revolusioner karena mampu menyelamatkan jutaan nyawa.

Jika dulu manusia hanya bisa pasrah pada kondisi organ yang rusak, kini ada peluang untuk menggantinya dengan organ baru agar fungsi tubuh bisa kembali normal.

Meski demikian, kehadiran transplantasi organ juga memunculkan pertanyaan besar di kalangan umat Muslim, apakah tindakan ini diperbolehkan dalam syariat Islam? Bagaimana hukum mendonorkan sebagian tubuh, baik saat hidup maupun setelah meninggal?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melansir NU Online, pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa dijawab secara sederhana. Pasalnya, hukum Islam tak hanya membicarakan soal medis, tapi juga menyangkut nilai kemanusiaan, kehormatan tubuh, hingga hak Allah atas kehidupan seorang hamba.

Islam sendiri menekankan pentingnya menjaga jiwa, seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur'an:

"Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (QS. Al-Baqarah: 195).

Ayat ini dipahami sebagai kewajiban seorang Muslim untuk mencari jalan pengobatan ketika sakit. Dengan kata lain, transplantasi organ pada dasarnya masuk dalam ranah ikhtiar menjaga kehidupan. Namun, dalam praktiknya, para ulama memberi rincian hukum yang cukup kompleks.

Lantas, apa saja bentuk transplantasi organ dan bagaimana hukumnya dalam pandangan Islam? Berikut penjelasannya:

1. Transplantasi organ dari tubuh sendiri

Jenis ini dikenal dengan istilah autograft. Contohnya adalah pencangkokan kulit untuk menutup luka bakar parah.

Para ulama Syafi'iyah membolehkan hal ini karena prinsipnya sama dengan "merusak sebagian demi menyelamatkan keseluruhan." Selama bertujuan pengobatan, bukan untuk kecantikan, transplantasi dari tubuh sendiri dinilai sah secara syariat.

2. Transplantasi dari orang lain

Transplantasi dari orang lain terbagi menjadi dua kategori, yakni dari orang hidup dan dari mayat. Transplantasi dari orang hidup ini diperbolehkan jika tidak membahayakan keselamatan pendonor.

Ulama besar seperti Syekh Al-Buthi menegaskan, jika dokter memastikan hidup pendonor tetap sehat meski kehilangan organ tertentu, maka donasi organ sah dilakukan. Namun jika ada risiko tinggi hingga bisa mengancam nyawa, hukum donor berubah menjadi haram, meski si pendonor rela.

Sementara itu, donor dari mayat sendiri memicu dua pendapat yang berbeda. Sebagian ulama mengharamkan karena dianggap merusak kehormatan mayat, sementara sebagian lain membolehkan dengan syarat ketat, misalnya ada kebutuhan mendesak, tidak ada alternatif lain, serta izin dari ahli waris.

Pandangan Syekh Al-Buthi bahkan lebih longgar, ia memperbolehkan dengan syarat persetujuan ahli waris, sebab kehormatan mayat dianggap warisan yang bisa diatur oleh keluarga.

3. Transplantasi dari spesies lain

Bagaimana jika organ diambil dari hewan? NU dalam Muktamar 1994 di Cipasung menegaskan, transplantasi dari hewan najis seperti babi haram dilakukan jika masih ada alternatif dari hewan suci. Namun, bila dalam kondisi darurat, misalnya hanya organ babi yang paling efektif dan dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa maka hukumnya bisa menjadi boleh. Sedangkan organ dari hewan yang suci sejak awal tidak menjadi masalah.

(tis/tis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |