Hipokrit dan Malas Kendala Kemajuan Suatu Bangsa

1 day ago 5

Hipokrit dan Malas Kendala Kemajuan Suatu Bangsa

Faiz Arhasy, Sekretaris Jenderal PPI Dunia Kawasan Amerika-Eropa 2024/2025 (Foto: dok. Pribadi)

DALAM bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentunya banyak tantangan yang dihadapi. Bagaimana tidak, kehidupan sosial yang menggaris besarkan kebersamaan tentu merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk direalisasikan. Banyak rintangan yang harus dihadapi baik dari internal maupun eksternal. Tak jarang keputusan yang diambil demi sebuah kebersamaan harus mengorbankan keputusan-keputusan lainnya. Tak jarang harus ada resiko yang diambil demi mencegah atau sekedar meminimalisir hal yang tidak diinginkan.

Pengorbanan yang dilakukan demi kepentingan bersama, bahkan pengorbanan atas nama pribadi juga merupakan suatu hal yang tidak jarang kita temui dalam bermasyarakat. Pengorbanan waktu, uang, tenaga bahkan nyawa. Dalam bermasyarakat tentunya setiap individu memiliki keunggulan dibidangnya masing-masing. Jika setiap simpul keunggulan individu digunakan dengan baik tentu akan tercipta suatu kelompok yang sejahtera serta memiliki manfaat tidak hanya untuk kelompok itu saja tetapi juga untuk lingkungan sekitarnya. Pembagian peran dan porsi serta mengesampingkan ego sektoral merupakan salah satu kunci utama dalam hidup bermasyarakat.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak kelompok masyarakat yang sulit mengalami perkembangan apalagi kemajuan. 

Keterbelakangan kelompok masyarakat ini bahkan mencakup hal-hal yang tergolong basic dalam kehidupan. Mulai dari kehidupan yang layak, tercukupinya kebutuhan primer dan lainnya. Dan kelompok masyarakat seperti ini tidak hanya satu dua melainkan terdapat di banyak tempat. Mulai dari skala kecil seperti dalam suatu komplek bahkan hingga skala besar seperti dalam suatu negara.

Disisi lain kelompok yang memiliki kesejahteraan yang cukup bahkan lebih juga mudah kita jumpai. Dan ya memang sudah menjadi rahasia bersama, saat ini dunia sedang mengalami kesenjagan sosial yang luar biasa. Kesenjangan ini tidak hanya meliputi tentang ekonomi saja. Akan tetapi juga pada pendidikan, kesehatan, teknologi bahkan kebahagiaan. Kesenjangan sosial ini sudah menjadi PR bersama sejak lama yang masih terus menerus dicari solusinya hingga saat ini.

Jika kita bertanya kepada sebagian orang “Mengapa kesenjangan sosial masih terjadi di dunia ini? Mengapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin?”. Tentunya jawaban yang sering kita dengar adalah “karena si kaya tidak peduli dengan si miskin”. Jawaban ini tidak hanya kita temukan dikalangan bawah saja tetapi juga dari kalangan atas. Banyak orang yang menganggap bahwa kesenjangan sosial yang terjadi saat ini karena rasa kepedulian yang kurang dari orang-orang yang seharusnya peduli.

Ada satu hal yang menarik terkait jawaban-jawaban ini. Sebagian besar jawaban yang kita temui selalu menyalahkan pihak eksternal terkait permasalahan ini. “Karena si kaya tidak peduli, karena tidak ada empati, karena tidak ada kepekaan sosial, dan lainnya”. Akan tetapi jarang kita temui jawaban yang mengoreksi kesalahan yang mungkin dilakukan oleh kelompok yang tergolong golongan bawah.

“Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka terus menerus dalam kondisi seperti ini? Kenapa tidak ada perubahan dalam diri mereka? Apa yang salah dengan mereka sehingga mereka terus menerus hidup dibawah garis standar kehidupan?”. Memang benar yang unggul harus mengayomi, yang hebat harus membersamai. 

Akan tetapi bukankah mobil yang mogok harus diperbaiki? Tidak mungkin kan di tarik dengan truk towing terus menerus? Jangan-jangan kesenjangan sosial yang terjadi bukan karena si kaya yang tidak peduli dengan si miskin akan tetapi karena si miskin yang tidak peduli dengan dirinya sendiri. Karena sebagus apapun jalannya mobil yang mogok tidak akan pernah bisa berjalan.

Ya, coba kita telaah apa yang terjadi di dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam skala yang besar seperti negara, kebiasan orang-orang yang hidup di negara maju tentu sangat berbeda dengan kebiasaan orang-orang yang hidup di negara berkembang. Masyarakat Polandia terkenal dengan ketertibannya, masyarakat Jepang terkenal dengan kejujurannya, masyarakat Singapura terkenal dengan kedisiplinannya, anak-anak di China terkenal dengan kecerdasannya. Kelompok-kelompok yang terbelakang tidak bisa hanya menyalahkan pihak lain terus menerus. Tidak bisa menyalahkan keadaan dan lingkungan terus menerus. Kebangkitan suatu individu diawali dengan pemikiran untuk bangkit dari individu itu sendiri.

Permasalahan internal suatu kelompok adalah penyebab utama kelompok tersebut menjadi terbelakang. Tidak perlu berbicara tentang hal yang besar, dalam hal dasar seperti bersosialisasi contohnya, dalam kelompok masyarakat yang terbelakang tak jarang kita temui perilaku-perilaku yang tidak baik. Manipulatif, sifat bermuka dua, penipuan, pengkhianatan dan lainnya masih banyak kita temui dilingkungan tersebut. Baik dalam skala besar seperti di pemerintahan suatu negara atau dalam skala kecil seperti dalam suatu komunitas atau pertemanan. Mungkin dalam ranah kecil banyak yang menganggap hal ini adalah hal sepele, akan tetapi jikalau terus menerus dibiasakan akan ternormalisasikan dan menjadi suatu hal yang buruk serta berakibat besar terhadap kelompok masyarakat tersebut. “Yang diatas mencuri lewat pengoplosan, yang dibawah mencuri lewat tangki”.

Bagaimana kita berbicara tentang hal yang besar jikalau hal dasar seperti bersosialisasi saja masih banyak yang kurang? Bukankah bersosialisasi adalah salah satu identitas daripada manusia? Bagaimana manusia bisa bangkit dan maju bersama jikalau identitasnya saja masih rusak? Ya, sifat hipokrit yang ada dalam suatu kelompok masyarakat adalah salah satu penyebab utama keterbelakangan suatu masyarakat. Bahkan dalam permasalahan besar seperti penjajahan pun bukankah ada sebagian orang yang membelot dari kelompoknya untuk menjajah kelompoknya sendiri?
Sifat hipokrit yang muncul tentunya terjadi karena beberapa penyebab pula. Salah satunya adalah kebiasaan “tidak enakan”. 

Tidak menyampaikan secara terus terang tetapi cenderung memendam dan bahkan “bermain” belakang. Sifat-sifat seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya sifat hipokrit. Orang-orang negara luar dikenal dengan sifatnya yang outspoken yang membiasakan diri mereka untuk menyampaikan segala sesuatu secara terbuka jikalau memang terdapat suatu masalah. Dan justru hal-hal kecil yang disampaikan secara terus terang inilah yang mencegah perpecahan dalam suatu kelompok.

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |