Jakarta, CNN Indonesia --
Pada Selasa (27/5) lalu, Maria Grazia Chiuri mengakhiri babak penting dalam sejarah fesyen dengan penuh gaya dan makna. Ia mengakhri koleksi terakhirnya di rumah mode Dior.
Sebagai direktur kreatif perempuan pertama Dior yang ia emban sejak 2016, Chiuri telah mengukir warisan yang melampaui sekadar estetika. Ia merevolusi wajah label asal Prancis itu dengan semangat feminisme, kolaborasi lintas disiplin, dan pemberdayaan perempuan.
Dior berubah di tangan Chiuri. Dalam dokumenter Her Dior karya Loïc Prigent, Chiuri dengan jelas menyatakan bahwa citra klasik Dior bukanlah visinya. Ia perlahan melonggarkan korset Dior yang mengikat pinggang perempuan, menggantinya dengan busana yang bebas, lembut, dan penuh makna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjadikan runway sebagai ruang wacana dan galeri seni feminis. Langkah awalnya bahkan termasuk radikal di kala itu.
Koleksi debutnya menampilkan kaus bertuliskan "We Should All Be Feminists", mengutip esai ikonik Chimamanda Ngozi Adichie. Meski dikritik, pesan ini bukan sekadar gimmick. Kaos itu jadi awal sebuah pernyataan ideologis yang lebih dalam.
Dari sana, Chiuri mengundang dan memberi ruang kepada para seniman perempuan dari berbagai bidang untuk menciptakan set, instalasi, koreografi, dan narasi di setiap koleksi.
"Setelah sembilan tahun, saya meninggalkan Dior dengan perasaan bahagia karena telah diberi kesempatan luar biasa ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Monsieur Arnault (CEO LVMH) atas kepercayaannya kepada saya, dan kepada Delphine (Chairman LVMH) atas dukungannya", ungkapnya dalam pernyataan yang diterima CNNIndonesia.com.
Koleksi terakhir Chiuri ditampilkan di Roma, tanah kelahirannya, dalam Cruise Show yang nyaris seperti mistik teatrikal.
Taman Villa Albani Torlonia berubah menjadi panggung mistis yang anggun, dengan kabut dan hujan ringan menambah suasana surealis.
Para tamu perempuan diminta mengenakan putih, dan laki-laki berpakaian hitam. Tidak ada jaket bar khas Dior. Tidak ada sepatu hak tinggi. Yang ada hanyalah gaun-gaun ringan seperti kabut, menjelajahi zaman dan bayangan sejarah.
Maria Grazia Chiuri memamerkan koleksi terakhirnya bersama Dior pada Selasa (27/5). (REUTERS/Guglielmo Mangiapane)
Maria Grazia menyebutnya sebagai 'beautiful confusion', mengutip judul awal untuk film 8½ karya Federico Fellini. Koleksi itu, dan seluruh arah artistiknya selama sembilan tahun, memang mengandung kebingungan yang indah, antara masa lalu dan masa depan, antara couture dan kerajinan, antara kemewahan dan aktivisme.
Komitmennya terhadap dunia di luar fesyen tak pernah surut. Ia pernah membawa kain tradisional Indonesia, Endek dari Bali ke atas panggung runway di paris dalam koleksi musim semi 2021.
Langkah-langkah ini mencerminkan pandangannya bahwa mode tidak bisa lepas dari konteks sosial dan politik. Di tangan Chiuri, fesyen bukan hanya estetika, melainkan juga etika. Ia menyatukan mode, seni, sejarah, dan suara-suara yang sering kali terpinggirkan, menjadi satu narasi yang koheren dan menyentuh.
"Saya sangat berterima kasih atas kerja luar biasa dari tim saya dan para artisan di atelier. Bakat dan keahlian mereka memungkinkan saya mewujudkan visi saya tentang mode perempuan yang berkomitmen, dalam dialog erat dengan beberapa generasi seniman perempuan", ujarnya melalui akun Instagramnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya..