Sengketa BUMN Nuklir dengan BRIN soal Pengalihan Aset Rp20 M

5 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Fasilitas pengolahan nuklir di Science Techno Park Habibie, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, menjadi sengketa di antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan BUMN di bidang nuklir, PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) atau Inuki.

Direktur Utama Inuki R. Herry menyebut persoalan bermula pada 2021 saat BRIN didirikan dan menaungi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Aktivitas Inuki di fasilitas yang berada di lahan Batan dilarang.

Dia menjelaskan Inuki berdiri pada 1996 sebagai PT Batan Teknologi, perusahaan kelolaan Batan. Mereka berubah nama menjadi Inuki pada 2014 dan bergerak di bidang produksi radioisotop dan radiofarmaka untuk keperluan medis serta industri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada saat itu, Inuki juga mendapatkan hibah tiga pusat penelitian. Inuki pun beroperasi di Gedung 10, 60, dan 70 di Kawasan Nuklir BRIN di Science Techno Park Habibie.

Pada Maret 2022, ada surat dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko yang meminta pengalihan aset fasilitas nuklir. Pengalihan itu bertujuan melakukan dekontaminasi dan pelimbahan.

"September 2022, Kementerian BUMN merestui, mengizinkan, untuk pengalihan aset sehingga kami melakukan proses," kata Herry pada rapat dengan Komisi XII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (15/5).

Pengalihan aset itu disetujui melalui rapat umun pemegang saham (RUPS) Inuki. Inuki juga mengantongi restu dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan hibah kondisi tertentu.

Pada April 2022, BRIN mengirim surat persetujuan penerimaan hibah aset dari Inuki bernilai Rp20,9 miliar. Surat itu disertai kesediaan BRIN menanggung biaya dekontaminasi sekitar Rp70 miliar. Namun, BRIN mengurungkan niatnya di kemudian hari.

"BRIN mencabut seluruh permohonan proses pengalihan aset, jadi hibah yang diterima tidak sebanding dengan biaya dekontaminasi Rp70 miliar. Padahal, seperti dari awal sudah ada statement dari Pak Kepala BRIN, menyatakan bahwa itu akan ada biaya untuk ditanggung oleh BRIN, termasuk hasil wawancara dengan BPKP," ucap Herry.

Versi BRIN

Handoko juga menyampaikan keterangan versi BRIN terkait sengketa pengalihan aset Inuki. Dia mengakui memang BRIN yang mengusulkan pengalihan aset tersebut pada 2021.

Usulan itu didasarkan ketidakmampuan Inuki memenuhi standar keamanan pengolahan nuklir sesuai perundang-undangan. BRIN khawatir hal ini membahayakan lingkungan dan menggerus kepercayaan terhadap nuklir.

Badan Pengawas Teknologi Nuklir (Bapeten) juga sudah menutup aktivitas pengelolaan nuklir di fasilitas Inuki. Selain itu, BRIN menutup akses aktivitas operasional PT Inuki di Serpong karena menenukan sejumlah pelanggaran operasional.

Setelah diskusi dengan banyak pihak, BRIN sempat menyetujui pengalihan aset Inuki melalui hibah. Namun, Kementerian Keuangan memberikan masukan berbeda.

"Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan itu melihat ada potensi kerugian negara apabila ini dilanjutkan. Karena untuk melakukan proses pengolahan limbah sekaligus bekontaminasi, BRIN setidaknya maksimal harus mengeluarkan Rp70 miliar, minimal Rp40 miliar sehingga ada ketidaksesuaian (dengan nilai hibah)," ujar Handoko.

"Kami tidak mungkin melanjutkan tanpa persetujuan Kementerian Keuangan karena seluruh aset itu notabene adalah milik Kementerian Keuangan," lanjutnya.

Selain itu, BRIN pernah melakukan pengolahan limbah PT Kertas Kraft Aceh pada 2024. Saat itu, PT Kertas Kraft Aceh yang menanggung biaya sebesar Rp2 miliar.

Kementerian Keuangan berpendapat BRIN harus melakukan hal yang sama di pengalihan aset Inuki. Dengan demikian, BRIN tidak dibolehkan menanggung biaya pengolahan limbah dan dekontaminasi Rp70 miliar.

"Itulah sebenarnya mendasari mengapa BRIN kemudian harus terpaksa mencabut surat kesediaan menerima hibah tersebut," ucap Handoko.

Kebut penyelesaian

Handoko mengatakan sedang mencari cara untuk menyelesaikan persoalan ini. Dia sedang berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan agar bisa menuntaskan alih aset dari Inuki.

Pada saat bersamaan, dia meminta Inuki tidak terus menyalahkan. Handoko berkata sedang berupaya menyelesaikan usulan yang dia sampaikan.

"Saya mohon ke Pak Dirut, Pak Herry, penyelesaian ini kan bersumber dari kami nih, jadi jangan nyalah-nyalahin lagi ya. Itu sangat krusial karena nuklir di negara ini ya kami saat ini, suka tidak suka," ucap Handoko.

Bambang Patijaya, Ketua Komisi XII, mendukung penyelesaian sengketa ini. Dia meminta BRIN dan Inuki membereskan persoalan ini maksimal sebelum DPR reses.

"Ini paling lambat 26 Mei kita sudah clear-lah ini masalah. Saya pikir kita percepatan saja ya. Bisa, Pak?" ucap Bambang.

"Kita upayakan, Pak, karena ini kan juga dengan Bu Menkeu dan Pak Presiden juga," ucap Handoko.

[Gambas:Video CNN]

(dhf/pta)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |