Jakarta, CNN Indonesia --
Para sineas Indonesia ramai-ramai ke Festival Film Cannes 2025 untuk mempromosikan industri perfilman lokal kepada dunia. Mereka memboyong beberapa film untuk berpartisipasi di berbagai program festival film bergengsi ini.
Sebagian besar proyek yang menjadi delegasi Indonesia itu akan mengikuti Cannes Film Market atau Marché du Film de Cannes, mulai dari Jumbo, Ikatan Darah, Pangku, Monster Pabrik Rambut, hingga proyek biopik Rose Pandanwangi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, lebih dari tiga dekade terakhir, sedikitnya lima film panjang garapan sutradara Indonesia pernah diputar dalam berbagai seksi atau sub-festival Cannes.
Sebagian besar film-film Indonesia yang tayang di Festival Film Cannes adalah hasil keterlibatan Garin Nugroho, seperti Daun di Atas Bantal yang ia arahkan dan tulis dan dibintangi Christine Hakim.
Kemudian ide cerita untuk Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang digarap sutradara Mouly Surya, serta film dokumenter Serambi.
Berikut 5 film Indonesia pernah tayang di Festival Film Cannes.
Tjoet Nja' Dhien
Tjoet Nja' Dhien (1988) diputar dalam Selection de la Semaine de la Critique Festival Film Cannes 1989. La Semaine de la Critique berfokus pada penemuan bakat-bakat baru, mengungkap film layar lebar pertama dan kedua.
La Semaine de la Critique setiap tahun mewujudkan perannya sebagai pencari bakat melalui 10 film pendek pilihan dan 10 film layar lebar yang dipresentasikan selama Festival Film Cannes.
Tjoet Nja' Dhien merupakan film garapan Eros Djarot tentang bentrokan antara Kerajaan Belanda dan Kesultanan Aceh. Pada 29 Maret 1896, Teuku Umar yang selama ini berpura-pura membuat perjanjian dengan musuh, mencuri senjata dan uang dari Belanda.
Berbekal hasil rampasannya, ia kembali ke hutan untuk memimpin pasukan perlawanan. Ia tewas dalam pertempuran pada 10 Februari 1899, tetapi Tjoet Nja'Dhien, istrinya, sang penghasut pemberontakan yang sebenarnya, mengambil alih.
Kerasnya perang gerilya tidak sesuai dengan kesehatan Tjoet Nja'Dhien yang semakin menurun, yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Buta dan setengah lumpuh karena rematik, ia tetap tidak kehilangan semangat juangnya.
Untuk menghentikan kemartirannya, Pang Laot, letnannya yang setia, memutuskan untuk menyerahkannya kepada kapten Belanda Veltman. Tjoet Nja'Dhien mengutuk "pengkhianatan" ini karena bertentangan dengan perjuangan mereka untuk kebebasan.
Daun di Atas Bantal
Leaf on a Pillow atau Daun di Atas Bantal (1998) diputar dalam seksi Un certain regard Festival Film Cannes 1998. Un certain regard secara harfiah berarti "pandangan tertentu" tetapi bisa dipahami "dari sudut pandang lain."
Bagian festival ini bisa diartikan menampilkan adalah film dengan berbagai jenis visi dan gaya, yang menceritakan kisahnya dengan cara yang tidak biasa.
Film Daun di Atas Bantal (1998). (Arsip Christine Hakim Films via Cannes)
Daun di Atas Bantal menceritakan kehidupan tiga anak jalanan, Sugeng, Heru, dan Kancil di Yogyakarta. Meskipun hidup dalam kemiskinan, berasal dari keluarga yang berantakan, dan harus melakukan apa saja untuk bertahan hidup, mereka bercita-cita untuk bangkit dari kemiskinan dan berharap untuk mengenyam pendidikan.
Mereka didukung Asih (Christine Hakim), seorang pramuniaga yang mengizinkan mereka tinggal di bengkelnya; anak-anak itu berebut bantal daun milik Asih. Namun, kehidupan mereka tidak berjalan mulus.
Kancil dipenggal saat bermain di atas kereta api. Heru menjadi korban penipuan asuransi, di mana ia diberi surat identitas palsu dan kemudian dibunuh untuk mengambil premi.
Lanjut ke sebelah...