Ahli Reumatologi Ini Divonis 10 Tahun Penjara karena Salah Diagnosis Pasien, (Foto: Freepik)
JAKARTA - Ahli rheumatologist ini divonis hukuman 10 tahun penjara karena menipu ratusan orang dengan salah diagnosa. Pasien sehat didiagnosa sakit bahkan kronis dan diharuskan mendapat penanganan medis secara intensif dengan risiko dan biaya besar. Tujuanya adalah untuk mendapatkan keuntungan dari hasil tagihan perawatan yang tidak mereka perlukan.
Pelaku yang bernama Jorge Zamora-Quezada M.D. asal Mission, dinyatakan bersalah setelah terbukti melakukan penipuan layanan kesehatan dan membuat konspirasi untuk menghalangi proses hukum. Ia kemudian dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
“Dr. Zamora-Quezada membiayai gaya hidup mewahnya selama dua dekade dengan membuat pasiennya trauma, menyiksa karyawannya, berbohong kepada perusahaan asuransi, dan mencuri uang pembayar pajak,” ungkap Matthew R. Galeotti, Kepala Divisi Kriminal Departemen Kehakiman Texas, dikutip Oddity Central pada Senin (6/2/2025).
Berdasarkan hasil bukti yang dikumpulkan menunjukkan bahwa ia terlibat dalam klaim palsu senilai lebih dari USD118 juta atau sekira Rp1,919 triliun, dengan pembayaran lebih dari USD28 juta atau sekira Rp455,5 miliar yang telah dilakukan oleh perusahaan asuransi. Selain itu, sejumlah ahli reumatologi di Texas yang menangani pasien-pasien yang sebelumnya didiagnosa penyakit kronis oleh terdakwa, turut dikumpulkan sebagai saksi dalam persidangan.
Hasil dari pernyataan saksi menunjukan bahwa para korban sebenarnya tidak terdiagnosis dengan kondisi medis yang diklaim oleh pelaku. Namun demikian, mereka tetap diberikan resep obat dan perawatan yang memiliki efek samping serius bahkan berisiko melemahkan atau mengancam jiwa. Beberapa pasien mengalami stroke, nekrosis pada tulang rahang, kerontokan rambut, kerusakan hati, serta rasa sakit yang sangat hebat hingga mereka tak mampu menjalani aktivitas sehari-hari.
Tak hanya harus berhadapan dengan dakwaan utama, Zamora-Quezada juga dilaporkan menciptakan lingkungan kerja yang menekan, di mana para staf merasa tertekan secara mental karena kerap diancam jika mereka tidak mengikuti perintahnya. Sebagian besar staf yang dipekerjakannya memiliki visa J-1, sehingga ia memanfaatkan situasi tersebut dengan mengancam akan memecat mereka, yang dapat membahayakan status keimigrasian mereka. Selain itu terdapat tuduhan kekerasan fisik terhadap staf yang gagal melaksanakan prosedur medis yang sebenarnya tidak diperlukan bagi pasien.