Review Film: Good Boy (2025)

6 hours ago 1

img-title Christie Stefanie

Review Good Boy: Penampilan Indy layak dapat nilai sempurna, tapi plotnya jelas memiliki catatan.

Jakarta, CNN Indonesia --

Good Boy merupakan film supranatural horor yang disajikan secara unik dan segar. Rasa tidak nyaman dihadirkan dari awal hingga akhir melalui sudut pandang hewan peliharaan.

Film ini adalah kisah dan pengalaman anjing bernama Indy yang dibawa human-nya pindah ke rumah baru yang ternyata berhantu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Horor datang bukan dari jumpscares, melainkan dari rasa bingung, waspada, dan tidak berdaya. Penonton dibawa mengalami seluruh kengerian dalam rumah tersebut melalui mata Indy.

Satu hal yang jelas sangat perlu diapresiasi adalah sinematografi film ini. Secara teknis, kamera dan situasi yang ditampilkan hampir seluruhnya tidak lebih tinggi dari Indy karena memang semua berasal dari sudut pandang anjing tersebut.

Penonton hampir tidak pernah melihat wajah manusia, tetapi hal itu membuat penonton tetap bisa terhanyut dan selaras dengan keadaan emosi Indy.

[Gambas:Video CNN]

Cahaya sering kali difokuskan sekitar garis pandang Indy, menyoroti langsung apa pun yang menarik perhatiannya pada saat tertentu.

Sinematografi itu didukung scoring yang sama apiknya, bahkan bisa dibilang seperti tulang punggung untuk membangkitkan keresahan penonton di tempat duduk.

Dengan naskah minimal, hampir seluruh situasi disampaikan lewat sound dan visual. Good Boy mengajak penonton untuk merasakan ketakutan akan kematian sebagaimana Indy dapat memahaminya.

Suara televisi yang seperti teredam, hembusan napas, suara angin, endusan, langkah kaki, serta scoring dibangun layer per layer hingga berhasil menghadirkan nuansa mencekam bahkan di momen-momen yang sesungguhnya hening.

Anjing memiliki indra yang jauh lebih tajam daripada manusia. Sehingga, telinga dan hidung membimbing Indy lebih dari apa pun di tengah situasi yang bahkan membuat manusia pun bingung.

Sutradara Ben Leonberg selaku human dan best friend Indy jelas memahami hal itu. Ia sebagai sinematografer, bersama music director Sam Boase-Miller mengandalkan apa yang didengar atau dicium Indy dalam menggambarkan situasi rumah berhantu.

Film horor Good Boy (2025). (Independent Film Company/Shudder)Review Good Boy: Debut luar biasa dari Indy si good and smart boy yang layak dapat penghargaan. (Independent Film Company/Shudder)

Selain sinematografi dan scoring, apresiasi setinggi-tingginya patut diberikan kepada Indy sang bintang utama film ini.

Indy memberikan penampilan luar biasa dengan membuat penonton mudah terlibat dengan apa yang ia alami, seperti melewati berbagai emosi yang intens saat mencoba memahami apa yang terjadi di sekitarnya.

Ben Leonberg mengatakan Indy baru debut sebagai aktor dan sama sekali tidak pernah tahu dirinya sedang berakting atau berada di lokasi syuting. Tidak ada latihan khusus yang dilakukan untuk film ini.

Namun, perasaan atau bahkan apa yang Indy pikirkan sangat jelas dipahami dalam setiap adegan. Tak hanya memberikan penampilan yang emosional dan mengesankan, Indy juga konsisten meyakinkan penonton.

Mata yang besar dan ekspresif, telinga yang terkulai, dan bahasa tubuhnya jelas mengomunikasikan pengalaman Indy dari waktu ke waktu.

Ia secara natural menerjemahkan aroma yang ia endus, berusaha memperingatkan potensi bahaya, hingga mempertahankan teritorialnya dalam cerita. Wajar saja rasanya perlu 400 hari untuk bisa mengambil gambar Indy.

Apresiasi juga perlu diberikan kepada Shane Jensen dalam memerankan Todd.

Ia merepresentasikan pemilik hewan peliharaan yang sangat relatable. Rasa sayang begitu besar kepada hewan peliharaan kadang tak mampu mencegah emosi kepada mereka pada hari-hari yang kurang baik.

Indy the Dog dalam film horor AS Good Boy (2025). (Independent Film Company/Shudder)Review Good Boy: Penampilan Indy layak dapat nilai sempurna, tapi plotnya jelas memiliki catatan. (Independent Film Company/Shudder)

Meski penampilan Indy layak mendapatkan nilai sempurna, film Good Boy secara keseluruhan masih memiliki catatan. Catatan utama justru terletak pada penceritaannya.

Antara disengaja atau tidak, informasi di balik situasi mistis dan menyeramkan yang dialami Indy dan manusianya, Todd, sangat minim.

Penyakit yang diderita Todd hingga kematian kakeknya hanya diketahui lewat panggilan telepon dengan Vera, video-video rekaman sang kakek yang diputar di televisi, atau semacam flashback.

Sosok hitam yang menghantui itu pun ambigu antara setan yang bersemayam di situ atau malaikat maut buntut penyakit kronis Todd.

Awalnya, saya berpikir bisa jadi karena fokusnya pada anjing, hal itu tak terlalu dikembangkan karena anjing pasti mengikuti langkah manusianya tanpa peduli situasi yang dihadapi. 

Indy juga pada akhirnya memang tidak bisa berperan sebagai detektif untuk mencari tahu sendiri dan mengungkapkan misteri rumah great grandpawrents-nya itu walau ia anak baik dan pintar.

Namun apabila disengaja, hal itu tetap saja meninggalkan beberapa ambiguitas yang terasa mengganjal setelah selesai menonton.

[Gambas:Youtube]

Pada akhirnya, film berdurasi 73 menit ini berhasil membangun emosi dan rasa bahaya adegan demi adegan meski banyak hal yang kurang jelas.

Sebagai pengingat, hewan peliharaan, terutama anjing tampaknya selalu tahu dan lebih peka dengan situasi janggal di sekitarnya tetapi jarang punya kemampuan untuk berbuat sesuatu tentang hal itu.

Dalam kondisi itu, manusia lah yang seharusnya peka dengan sinyal-sinyal yang diberikan hewan peliharaan kita dan memercayainya demi keselamatan bersama.

Melalui Indy, film ini juga mengingatkan tentang betapa besar cinta tanpa syarat anjing. Mereka akan tetap di sisi kita, bahkan dalam menghadapi teror.

Ben Leonberg turut layak dapat pujian karena selaku kreator ia mampu menciptakan film horor bujet menengah yang menegangkan, dan tidak hanya sekadar memanjakan pencinta binatang.

(chri/chri)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |