Soeharto, Presiden 32 Tahun Kini Bergelar Pahlawan Nasional

2 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden kedua RI Soeharto resmi mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Presiden Prabowo Subianto pada Senin (10/11).

Prosesi digelar bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional pada hari ini. Dua anak Soeharto, Siti Hardijanti alias Tutut Soeharto dan Bambang Trihamodjo mewakili pihak keluarga menerima gelar dari pemerintah.

Gelar pahlawan nasional ini diberikan sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria yang lahir di Yogyakarta, 8 Juni 1921 ini pernah memimpin Indonesia selama 32 tahun dari tahun 1967-1998. Menjadikannya sebagai presiden dengan jabatan terlama sepanjang sejarah Indonesia.

Selama masa kepemimpinannya, Soeharto dikenal dengan julukan "Bapak Pembangunan Nasional".

Soeharto dijuluki sebagai "Bapak Pembangunan Nasional" dikarenakan strategi pembangunan yang dijalankannya sejak ia berkuasa pada 12 Maret 1967.

Ia mewujudkannya melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dengan beberapa fokus.

Pelita I (1 April 1969-31 Maret 1974), Soeharto mengutamakan pembangunan infrastruktur pertanian guna mencukupi kebutuhan dasar rakyat.

Pada Pelita II, ia fokus memajukan pembangunan di beberapa pulau selain Jawa, Bali, dan Madura, antara lain dengan program transmigrasi.

Selanjutnya, Pelita III (1 April 1979-31 Maret 1984) fokus pembangunan diarahkan pada pembangunan dengan menerapkan prinsip pemerataan meliputi pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, akses pendidikan dan kesempatan kerja yang merata bagi seluruh masyarakat.

Dengan jabatannya selama hampir 15 tahun berkuasa, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Jenderal Yoga Sugomo dan Letjen Ali Moertopo menilai sudah saatnya Presiden Soeharto berhenti dari masa jabatannya sebagai kepala negara.

Sebab hal ini sudah setara dengan empat kali masa jabatan Presiden Amerika Serikat dan dapat memicu dampak buruk sekalipun di sisi lain juga sangat membanggakan.

Untuk mengantisipasi segala risiko buruk yang akan terjadi, keduanya mengingatkan Soeharto secara halus dengan memberikan gelar "Bapak Pembangunan Nasional" supaya Soeharto tidak mencalonkan diri lagi sebagai Presiden pada periode 1983-1988.

Walaupun mendapat pujian, terdapat sebagian kelompok yang tidak mendukung upaya yang dilakukan Soeharto. Ia juga sempat enggan menerima gelar tersebut karena tidak menyukai sanjungan.

Dengan berjalannya waktu dan banyaknya desakan publik, melalui TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983, MPR menetapkan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia.

"Bahwa rakyat Indonesia setelah menyaksikan, merasakan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan, secara tulus ikhlas telah menyampaikan keinginannya untuk memberi penghargaan kepada Jenderal TNI Purnawirawan Soeharto Presiden Republik Indonesia, sebagai Bapak Pembangunan Indonesia," bunyi salah satu poin yang terdapat dalam ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1983.

Soeharto lengser

Mei 1998 menjadi momentum penting dalam sejarah Indonesia. Setelah Soeharto berkuasa selama 32 tahun sebagai Presiden Republik Indonesia, ia akhirnya mengundurkan diri.

Soeharto menyatakan berhenti di tengah gejolak sosial, politik, dan ekonomi yang memicu amarah rakyat. Awalnya gejolak ini dipicu oleh krisis ekonomi dan berujung kemerosotan legitimasi politik rezim Orde Baru Soeharto.

Sebab pada Juli 1997, nilai tukar rupiah yang selama bertahun-tahun stabil antara Rp1.901 hingga Rp2.383 per dolar AS, tiba-tiba melemah tajam yang berakibat naiknya inflasi serta harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.

Oleh sebab itu, benih-benih perlawanan bawah tanah bergeliat, diinisiasi para pemuda dari kampus dan tokoh-tokoh oposisi nonpartai.

Dengan maraknya protes hingga kerusuhan yang terjadi, pada 18 Mei 1998, Harmoko bersama para pimpinan DPR secara terbuka menyampaikan bahwa semua fraksi, termasuk fraksi ABRI, meminta Soeharto melepaskan jabatannya. Puncaknya, saat 19 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR.

Pada tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto menyatakan secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia tanpa adanya sidang istimewa, dan Komite Reformasi.

"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto kala itu.

Sementara itu Menteri Kebudayaan Fadli Zon usai Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional menyatakan sudah banyak jasa yang diberikan Presiden RI ke-2. 

Ia menyebutkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret, pertempuran di Ambarawa, pertempuran 5 hari di Semarang,  hingga menjadi komandan Operasi Mandala perebutan Irian Barat.

"Kiprah Presiden Soeharto dalam pembangunan 5 tahunan tadi juga sudah dibacakan. Telah membantu pengentasan kemiskinan, memperbaiki ekonomi, apalagi ketika itu kita mengalami inflasi yang luar biasa sampai 600-an persen, pertumbuhan juga minus ya. Jadi banyak sekali, termasuk pendirian sekolah-sekolah yang luar biasa dan juga pada waktu itu menghentikan pemberontakan yang dilakukan melalui gerakan 30 September PKI," kata Fadli.

Gelombang penolakan Soeharto Pahlawan Nasional

Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Presiden ke-2 RI Soeharto dari Presiden ke-8 Prabowo Subianto hari ini, Senin (10/11) bertepatan pada Hari Pahlawan Nasional.

Presiden Prabowo menyerahkan langsung secara simbolis gelar pahlawan nasional ini ke putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut Soeharto dan putra ke-3 Soeharto, Bambang Trihatmodjo.

Namun, penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menuai pro dan kontra di masyarakat.

Hal ini disebabkan dengan adanya dugaan pelanggaran HAM berat, otoritarianisme, dan dugaan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa pemerintahan Soeharto.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pemberian gelar pahlawan nasional dipaksakan dan penuh dengan benturan kepentingan (conflict of interest).

Dalam keterangan tertulisnya, YLBHI menyatakan pemberian gelar ini bukan hanya sebuah pengkhianatan terhadap para korban dan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap reformasi.

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) juga mengecam keras pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto.

GEMAS terdiri dari 184 lembaga masyarakat sipil seperti KontraS, Jatam, Gusdurian, LBH di berbagai daerah, dan organisasi lain.

"Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menyiratkan pesan bahwa seluruh rekam jejak buruk dan berdarah yang dimiliki Soeharto selama menjadi presiden, bahkan sejak dua setengah tahun sebelumnya pada 1965, adalah hal yang wajar," demikian keterangan tertulis GEMAS.

Sebelum pemberian gelar ini, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus juga menolak usulan ini. Ia menjelaskan banyak ulama pesantren dan NU diperlakukan tidak adil selama masa pemerintahan Soeharto.

"Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional," kata Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah, dilansir dari NU Online, Minggu (9/11).

(nat/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |