MK: Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana

1 week ago 17

JAKARTA, METRO–Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral, yakni membuat keputusan maupun tindakan yang mengun­tungkan atau merugikan salah satu pasa­ngan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan/atau denda.

Ketentuan tersebut me­ru­pakan putusan MK yang memasukkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (14/11).

Pasal 188 UU 1/2015 berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600. 000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”

Menurut MK, Pasal 188 UU 1/2015 merupakan norma yang berpasangan de­ngan Pasal 71. Dalam per­kembangannya, Pasal 71 mengalami perubahan me­­lalui UU Nomor 10 Ta­hun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1). Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat “Pejabat negara, pejabat aparatur sipil ne­gara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.”

Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri”.

Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder. Terlebih UU 10/2016 tidak mengu­bah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekun­der yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.

Kondisi ini, menurut MK, menjadikan tidak ada­nya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.

Sebagai norma se­kun­der, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman ba­gi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar.

Karena norma pada kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang berpasangan, norma Pasal 188 UU 1/2015 harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan perinci agar tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya.

“Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK.

MK menyatakan bahwa ketidaksesuaian rumusan norma primer dan se­kunder di antara kedua pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi.

Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi ber­bunyi:

“Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600. 000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00”. (jpg)

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |