DI tengah gegap gempita Pilkada Lampung 2024, kita menyaksikan sebuah fenomena menarik: bagaimana era digital mentransformasi dua efek klasik dalam perilaku pemilih, yakni Bradley Effect dan Bandwagon Effect. Platform digital tidak sekadar menjadi kanal baru bagi kedua efek ini, tetapi secara fundamental mengubah cara keduanya beroperasi.
Bradley Effect 2.0: Dari Tekanan Sosial ke Anxiety Digital
Merujuk buku Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural (Muhtadi, 2019). Bradley Effect pertama kali teridentifikasi pada Pemilihan Gubernur California tahun 1982. Tom Bradley, kandidat kulit hitam dari Partai Demokrat yang juga Wali Kota Los Angeles, bertarung melawan George Deukmejian, kandidat kulit putih dari Partai Republik. Meski unggul dalam hampir semua survei menjelang pemilihan, Bradley kalah tipis dalam pemilihan sebenarnya.
Kesenjangan antara survei dan hasil aktual ini kemudian dianalisis dan ditemukan bahwa banyak pemilih kulit putih yang enggan mengaku kepada surveyor bahwa mereka tidak akan memilih kandidat kulit hitam karena takut dianggap rasis. Mereka memberikan jawaban “politically correct” dalam survei, tetapi memilih berbeda di bilik suara.
Bradley Effect klasik muncul dari ketakutan pemilih mengungkapkan preferensi politik karena tekanan sosial langsung. Di era digital, fenomena ini mengalami mutasi signifikan. Para pemilih Lampung kini menghadapi bentuk tekanan baru: digital surveillance dan jejak digital permanen. Paradoksnya, media sosial yang diklaim memberi ruang ekspresi lebih bebas justru menciptakan bentuk Bradley Effect baru.
Seorang warga Lampung mungkin mem-posting dukungan untuk incumbent di Facebook, membagikan konten kampanyenya di WhatsApp Group, tetapi di bilik suara memilih berbeda. Ketakutan akan screenshot dan arsip digital membuat orang lebih berhati-hati dalam mengekspresikan preferensi politik online.
Fenomena silent voter digital menjadi manifestasi baru Bradley Effect. Banyak pemilih memilih “menghilang” dari percakapan politik online, tidak memberikan likes atau komentar pada konten politik, tetapi memiliki preferensi kuat yang hanya terungkap di bilik suara. Ini menciptakan blind spot baru dalam polling dan prediksi elektoral yang mengandalkan sinyal digital.
Bandwagon Digital: Algoritma dan Ilusi Popularitas
Sementara itu, Bandwagon Effect adalah kecenderungan orang untuk mengadopsi keyakinan, ide, atau tren tertentu karena banyak orang lain melakukan hal yang sama. Istilah ini berasal dari Bandwagon, kereta yang membawa band dalam parade, di mana orang-orang akan melompat naik untuk menjadi bagian dari perayaan. Dalam konteks politik, ini merujuk pada kecenderungan pemilih untuk mendukung kandidat yang dipersepsikan akan menang.
Bandwagon Effect mengalami amplifikasi dramatis melalui algoritma media sosial. Jika dulu efek ini menyebar melalui interaksi sosial langsung dan media mainstream, kini algoritma platform digital bisa menciptakan persepsi momentum politik dalam hitungan jam. Di Lampung, sebuah TikTok viral tentang kandidat tertentu bisa menciptakan “false bandwagon” atau ilusi popularitas yang tidak mencerminkan dukungan riil.
Algoritma yang memprioritaskan engagement sering mendorong konten politik yang provokatif atau sensasional, menciptakan distorsi dalam persepsi publik tentang dukungan politik.
Echo chamber digital memperparah situasi ini. Pemilih Lampung yang aktif di media sosial sering terjebak dalam gelembung informasi yang memperkuat keyakinan bahwa kandidat favoritnya “pasti menang”, padahal itu hanya cerminan dari lingkaran digital terbatasnya.
Yang menarik adalah bagaimana kedua efek ini berinteraksi di ruang digital. Misalnya, seseorang mungkin menyembunyikan preferensi politiknya di grup WhatsApp keluarga (Bradley Effect), tapi secara anonim aktif mendukung kandidat pilihannya di X (Twitter) karena melihat tanda-tanda kemenangannya (Bandwagon Effect).
Implikasi bagi Demokrasi Digital
Transformasi ini memiliki implikasi serius bagi kualitas demokrasi. Lembaga survei perlu mengembangkan metodologi baru yang mempertimbangkan dinamika digital. Para kandidat harus memahami bahwa dukungan online yang masif belum tentu mencerminkan dukungan riil, sementara “keheningan” di media sosial tidak selalu berarti ketiadaan dukungan.
Bagi penyelenggara Pilkada Lampung, tantangannya adalah memastikan integritas elektoral di era di mana persepsi publik bisa dimanipulasi secara digital. Monitoring media sosial menjadi sama pentingnya dengan pengawasan TPS, tapi dengan kompleksitas yang jauh lebih tinggi.
Untuk memitigasi dampak negatif dari transformasi ini, literasi digital politik menjadi krusial. Pemilih perlu memahami bagaimana algoritma media sosial bisa menciptakan distorsi, bagaimana membedakan dukungan organik dari manipulasi digital, dan pentingnya mencari informasi di luar gelembung digital mereka.
Menuju Demokrasi Digital yang Sehat
Pilkada Lampung 2024 menjadi laboratorum penting untuk memahami bagaimana demokrasi berevolusi di era digital. Bradley Effect dan Bandwagon Effect tidak hilang, mereka bertransformasi, menjadi lebih kompleks dan berpotensi lebih manipulatif. Tantangan ke depan adalah membangun ekosistem digital yang mendukung, bukan mendistorsi proses demokratis.
Kesadaran akan transformasi ini adalah langkah pertama menuju demokrasi digital yang lebih sehat. Memahami dan mengelola Bradley Effect serta Bandwagon Effect menjadi kunci dalam menciptakan proses elektoral yang lebih berkualitas. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara memanfaatkan momentum politik sambil tetap menjaga kualitas diskusi publik dan rasionalitas pemilih. Pilihannya ada pada Anda, pemilih rasional atau pemilih irasional? *