DI tengah era informasi yang terus berkembang, pengelolaan arsip telah menjadi bagian penting dari manajemen data di setiap negara, termasuk Indonesia. Pedoman dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) telah mengadopsi pendekatan siklus hidup arsip, yang mengelompokkan arsip ke dalam beberapa fase—dari penciptaan, penggunaan aktif, hingga masa inaktif, yang diakhiri dengan proses disposisi atau pemusnahan arsip.
Pemusnahan ini ditujukan untuk membatasi beban penyimpanan arsip, terutama yang dianggap tidak lagi memiliki nilai guna. Namun, kebijakan pemusnahan arsip di akhir siklus hidup ini menyisakan dilema yang tak sederhana, terutama ketika kita memikirkan makna arsip sebagai bagian dari sejarah yang tidak terbatas pada peristiwa besar atau tokoh penting saja.
Dalam konteks sejarah yang semakin demokratis, pendekatan seleksi arsip berbasis nilai guna ini berpotensi menghilangkan banyak bagian dari memori kolektif kita. Demokratisasi sejarah adalah gagasan yang menganggap bahwa semua orang memiliki hak untuk memiliki bagian dalam sejarah. Tentu saja, ini termasuk aspek kehidupan sehari-hari atau cerita dari kelompok minoritas yang selama ini mungkin tidak mendapat sorotan.
Dengan pendekatan siklus hidup yang mengedepankan disposisi, kita justru berisiko menghilangkan sumber sejarah dari kelompok-kelompok ini—menyisakan sejarah yang terbatas pada sudut pandang yang dianggap signifikan pada masa kini, tetapi mungkin terabaikan nilainya di masa depan.
Pentingnya Perspektif Inklusif
Pemusnahan arsip sering berfokus pada nilai guna administrasi, hukum, atau ekonomi dari dokumen. Akan tetapi, arsip tidak hanya sekadar catatan administratif; arsip juga adalah jejak kehidupan kita sebagai masyarakat. Arsip yang mengandung informasi tentang kehidupan sehari-hari, kebiasaan, bahkan polemik kecil yang mungkin tampak tidak signifikan, dapat menjadi bahan yang sangat berharga bagi para sejarawan di masa mendatang.
Para ahli, seperti Schwartz dan Cook, dalam tulisan mereka Archives, Records, and Power menegaskan bahwa apa yang kita putuskan untuk disimpan atau dimusnahkan sebenarnya membentuk memori kolektif kita. Jika kita hanya mengutamakan arsip yang dianggap bernilai pada saat ini, kita menciptakan kekosongan dalam sejarah, seolah menutup sebagian dari warisan budaya kita sendiri.
Di Indonesia, ANRI melalui Peraturan ANRI No. 6 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemusnahan Arsip sebenarnya sudah mewajibkan adanya penilaian yang komprehensif sebelum pemusnahan dilakukan. Akan tetapi, praktik ini masih menghadapi kendala besar karena seleksi masih cenderung terbatas pada arsip yang bernilai guna administrasi atau hukum saja, tanpa melihat potensi historisnya di masa depan.
Model Continuum
Beberapa negara telah mulai beralih ke model record continuum sebagai alternatif untuk menggantikan pendekatan siklus hidup. Berbeda dengan siklus hidup yang menempatkan arsip pada titik akhir dalam bentuk disposisi, model continuum melihat arsip sebagai entitas yang hidup dalam berbagai konteks.
Arsip dalam model ini tidak hanya dianggap sebagai dokumen masa lalu yang diarsipkan, tetapi sebagai sumber daya yang dapat terus digunakan, diinterpretasi, dan ditafsirkan ulang. Dokumen atau arsip dalam model continuum dapat memiliki makna yang berbeda di setiap era atau bagi setiap komunitas.
Model ini menawarkan fleksibilitas lebih besar bagi pengelola arsip. Tidak hanya menghindari risiko hilangnya memori kolektif, tetapi juga mendukung demokratisasi sejarah dengan menyimpan jejak dari kelompok-kelompok yang mungkin tak tersorot. McKemmish dalam The Records Continuum menegaskan bahwa dengan pendekatan ini, arsip tidak hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi juga sebagai “jembatan” yang memungkinkan keterhubungan antar-generasi, menjadikannya lebih dari sekadar dokumen tak bernyawa.
Tantangan bagi Pengelola Arsip Indonesia
Mengadopsi model continuum bukanlah perkara sederhana, terutama bagi Indonesia. Selain membutuhkan perubahan pandangan, penerapan model ini juga memerlukan peningkatan kapasitas penyimpanan dan perubahan dalam kebijakan serta praktik pengelolaan arsip. Namun, mengingat risiko kehilangan sejarah yang dihadapi jika kita hanya bertumpu pada pendekatan siklus hidup, model continuum ini layak dipertimbangkan sebagai alternatif.
Pengelola arsip (dalam hal ini yang saat ini dikenal dengan arsip statis) di Indonesia, termasuk ANRI, Arsip Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Lembaga Kearsipan Perguruan Tinggi (LKPT) perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih fleksibel dan berkelanjutan. Pemahaman bahwa arsip dapat memiliki “kehidupan” yang berlanjut di luar siklus hidup tradisional adalah langkah penting untuk memastikan bahwa sejarah kita tidak mengabaikan mereka yang mungkin belum mendapat perhatian.
Kita perlu melihat arsip sebagai jejak yang selalu aktif, yang tidak hanya menjadi dokumen dari masa lalu, tetapi juga sumber daya yang terus hidup dalam perkembangan budaya, politik, dan sosial masyarakat kita.
Dengan mengadopsi perspektif yang lebih inklusif ini, pengelola arsip akan dapat memastikan bahwa kita tidak hanya menyimpan “potongan-potongan” sejarah yang dianggap penting pada saat ini, tetapi juga jejak lengkap dari perjalanan bangsa yang kelak dapat memberikan gambaran utuh bagi generasi mendatang.
Jika tidak, kita mungkin kehilangan kesempatan untuk memahami sejarah dari berbagai sudut pandang—kehilangan tidak hanya arsip, tetapi juga kekayaan budaya dan memori kolektif kita. *