Salah satu “wajah” Universitas Lampung adalah Unila TV, sebuah lembaga penyiaran komunitas sivitas akademika Universitas Lampung yang sudah bersiaran selama 11 tahun. Terhitung sejak 2013, Unila TV sudah mewarnai siaran televisi lokal di Lampung. Unila TV sendiri digagas oleh Bapak Ageng Sadnowo, dosen Fakultas Teknik. “Mimpi saya adalah Universitas Lampung mempunyai siaran televisi,” cerita Pak Ageng kepada saya.
Untuk memulainya, Pak Ageng mengumpulkan beberapa mahasiswa teknik elektro untuk melakukan uji coba siaran televisi di sekitar wilayah Universitas Lampung. Setelah berhasil siaran di sekitar wilayah Kampung Baru dan Gedongmeneng, Pak Ageng dan timnya sangat bangga, meskipun hanya menyiarkan gambar semut hitam putih. “Wah, akhirnya kita punya TV,” kenang Pak Ageng setelah berhasil bersiaran analog.
Perjalanan berlanjut setelah masa percobaan siaran. Pembuatan struktur organisasi, perizinan siaran, peralatan teknis, sampai hal-hal mengenai aturan mengenai siaran yang diatur dalam Standar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) menjadi haluan bagi Unila TV dalam pembuatan materi siaran. Tercatat beberapa program rutin yang diproduksi Unila TV, seperti Pojok Kampus, Breaking News, Healthy Unila, talk show, Bincang Mutu, serta kegiatan-kegiatan tridharma dosen Universitas Lampung.
Media komunitas seperti Unila TV sesungguhnya memiliki peran strategis yang tidak bisa diremehkan. Selain menjadi laboratorium pembelajaran bagi mahasiswa, ia juga berperan sebagai jembatan yang menghubungkan dunia kampus dengan masyarakat. Melalui konten-konten yang diproduksi, nilai-nilai akademik bisa diterjemahkan dalam bahasa yang lebih populer dan mudah dicerna publik.
Diawali Pesimisme
Kabar itu datang di penghujung Juli 2024, tepat ketika saya tengah mempersiapkan diri untuk tes IELTS. Sebuah penunjukan yang tak terduga: menjadi ketua pusat Unila TV. Bagi sebagian orang, ini mungkin adalah berita yang membanggakan. Namun, bagi saya, ini adalah awal dari pergulatan dengan pesimisme yang mendalam.
Generasi Z akan menyebutnya sebagai overthinking. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan muncul di benak saya. Namun, di tengah gelombang pesimisme ini, saya teringat akan perjalanan Unila TV. Merefleksikan kisah ini, saya mulai memahami bahwa pesimisme tidak selalu berarti kelemahan.
Filsuf Arthur Schopenhauer berbicara tentang pesimisme yang berpandangan bahwa mengakui keterbatasan dan potensi tantangannya justru bisa menjadi langkah pertama menuju kebijaksanaan. Pesimisme membuat kita lebih hati-hati, lebih realistis dalam menyusun langkah. Pesimisme awal saya perlahan berubah menjadi kehati-hatian yang konstruktif.
Ya, tantangan memang besar, tapi bukankah setiap pencapaian besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang diambil dengan penuh pertimbangan? Seperti Pak Ageng yang memulai dari “gambar
semut”, mungkin yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulai, diimbangi dengan kesadaran akan keterbatasan.
Kolaborasi dengan Mahasiswa adalah Kunci
Unila TV menjadi lebih dari sekadar stasiun televise kampus, ia adalah laboratorium hidup tempat mahasiswa belajar tentang resiliensi, kerja tim, dan inovasi. Di sini, pesimisme bertransformasi menjadi kehati-hatian yang konstruktif, dan semangat mahasiswa yang terus menyala menghadapi tantangan.
Di era ketika media mainstream semakin didominasi konglomerasi dan platform digital, kehadiran media komunitas seperti Unila TV menjadi oasis yang menyegarkan. Sebelas tahun perjalanan lembaga penyiaran komunitas Universitas Lampung ini menyimpan kisah inspiratif tentang bagaimana sebuah mimpi sederhana bisa bertransformasi menjadi “wajah” institusi pendidikan.
Saya menyaksikan bagaimana mahasiswa mentransformasi keterbatasan menjadi kreativitas. Dengan peralatan-peralatan di studio Unila TV, mahasiswa menciptakan konten yang menarik, dari liputan kegiatan kampus hingga program-program edukatif. Di era digital ini, mereka cerdik menggabungkan siaran konvensional dengan platform media sosial, membuat Unila TV hadir di berbagai kanal dari Instagram hingga YouTube tanpa kehilangan identitasnya sebagai media komunitas yang mengakar pada nilai-nilai akademik dan lokalitas.
Sebelas tahun adalah waktu yang tidak singkat untuk sebuah media komunitas bertahan. Fakta bahwa Unila TV masih ada dan berkembang membuktikan dengan komitmen dan inovasi berkelanjutan, media komunitas bisa tetap relevan di tengah gempuran digitalisasi. Mungkin ini adalah wisdom pertama yang bisa saya petik: bahwa keberhasilan tidak selalu tentang transformasi besar-besaran, tapi lebih tentang konsistensi dalam mengambil langkah-langkah kecil yang terukur. *