SinarHarapan.id – Laut China Selatan merupakan kawasan maritim yang sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu jalur navigasi internasional utama dan memiliki kekayaan sumber daya alam laut yang besar.
Namun demikian Laut China Selatan juga merupakan wilayah maritim “hot spot” karena adanya saling klaim (overlapping claims) antara negara-negara pantai di kawasan tersebut.
Berbagai upaya diplomasi untuk mencari penyelesaian saling klaim tersebut sampai saat ini belum memberikan hasil, termasuk perundingan untuk menyepakati Code of Conduct (COC).
Bahkan upaya penyelesaian secara hukum oleh Filipina melalui Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag tahun 2016, yang salah satu keputusannya menyatakan bahwa “historic claim” RRC atas Laut China Selatan tidak mempunyai dasar dalam hukum laut internasional, juga tidak dipatuhi oleh RRC dan RRC merasa tidak terikat dengan Keputusan PCA tersebut.
Selama ini posisi Pemerintah Indonesia sangat tegas, yaitu Indonesia bukan merupakan negara yang ikut meng-klaim Laut China Selatan (non-claimant) dan mengedepankan penyelesaian sengketa melalui cara-cara damai sesuai dengan Piagam PBB, prinsip-prinsip dalam UNCLOS 1982 serta mendorong disepakatinya COC sebagai dasar penyelesaian sengketa secara damai tersebut.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, sebagai seorang Guru Besar di bidang hukum internasional dan Duta Besar RI/Mantan Ketua Tim Perunding Negosiasi Hukum Laut serta pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perjanjian Internasional ingin memberikan beberapa catatan terhadap “Joint Statement Between the People’s Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future”, yang ditanda-tangani di Beijing, November 9, 2024, khususnya butir 9 yang berbunyi: “The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation”.
Adapun catatan dari kami adalah sebagai berikut:
1. Selama ini Pemerintah RI selalu konsisten (persistent objection) untuk tidak menerima posisi RRC yang mengklaim Laut China Selatan berdasarkan 9DL (nine dashed-line) yang tidak mempunyai legalitas dalam hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 maupun hukum kebiasaan internasional.
2. Indonesia bahkan selalu konsisten menyatakan diri tidak mempunyai klaim dan tidak menerima klaim berdasarkan “Nine dashed-lines”/9DL serta mendesak penyelesaian sengketa di kawasan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional.
3. Dengan adanya Joint Statement RI-China ini maka sikap Indonesia mulai saat ini sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih (overlapping claims) yang secara juridis dapat dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam klaim (tacit recognition) terhadap 9 DL oleh RRT atas Laut China Selatan khususnya Laut Natuna Utara.
4. Posisi baru Indonesia ini menjadi tidak sejalan dengan Keputusan (Awards) dari Permanent Court of Arbitration (PCA) tentang Laut China Selatan 2016, dan semua dokumen yang dikeluarkan oleh ASEAN dan pernyataan-pernyataan bilateral Indonesia yang secara konsisten menegaskan komitmen Indonesia terhadap UNCLOS 1982 dalam berbagai forum internasional termasuk PBB.
5. Sekalipun dalam format joint statement atau MoU, posisi Indonesia yang baru ini merupakan tindakan unilateral yang bersifat mengikat vis
a vis China. Dalam hal ini Indonesia akan sulit mengubah kembali posisi hukumnya karena adanya prinsip dalam hukum internasional yaitu “estoppel”, yang melarang suatu negara mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sudah diakui sebelumnya.
6. Mengingat Indonesia sudah mengakui hak maritim China di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, maka sebagai konsekuensinya Perjanjian RI-Vietnam tentang ZEE yang sudah ditandatangani tahun 2022 tidak mungkin bisa diratifikasi, tanpa melibatkan China. Dokumen Joint Statement ini dapat digunakan oleh China untuk melarang Indonesia meratifikasi perjanjian ini karena hak maritimnya telah diabaikan.
7. Posisi baru Indonesia ini juga berpotensi bertentangan dengan hukum nasional Indonesia. Pasal 8 UU No.43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara tidak menyebutkan adanya batas maritim dengan RRC seperti yang diindikasikan dalam Joint Statement, dan pada Pasal 10 disebutkan bahwa dalam mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
8. Posisi Indonesia ini juga akan menganggu konstelasi geopolitik di Kawasan. Keberhasilan China memperoleh pengakuan dari Indonesia
akan dikapitalisasi China untuk mendesak negara-negara “claimants” lainnya agar menerima 9DL yang pada akhirnya akan
memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.