SETELAH tiga tahun terakhir melakukan penelusuran pustaka sejarah Lampung, khusunya di Lampung, tampak bahwa penulisan sejarah daerah ini masih terabaikan. Tidak banyak referensi yang dapat ditemukan kalau kita ingin membaca dan mengkaji sejarah daerah Lampung.
Kalaupun kita dapat menemukan pustaka sejarah Lampung, maka paling banter narasinya terkait atau dikaitkan dengan Banten dan Palembang, atau sedikit Pagaruyung (Sumatera Barat). Dalam konteks ini, sejarah Lampung dilihat sebagai suplemen atau pinggiran (periphery) dari sejarah tiga daerah tersebut. Lampung belum menjadi satu bagian (otonom) di panggung sejarah Indonesia.
Kalau terus begini, maka sejarah Lampung selamanya akan terabaikan. Bahkan, bukan tidak mungkin, generasi mudanya akan sulit menemukan kepercayaan dirinya bila dikaitkan dengan sejarah daerahnya.
Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin mereka dapat menegakkan identitasnya sebagai Lampung di tengah komunitas global yang lain. Apakah mereka terpaksa menerima kenyataan identitas global sebagai warga dunia, tanpa punya identitas lokal?
Salah satu pusat pustaka lokal yang menyediakan referensi sejarah daerah ini ialah Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung, yang memiliki gedung yang cukup mewah serta terletak di jalur strategis dan kawasan kampus-kampus terkemuka di Kota Bandar Lampung. Namun, koleksi pustaka sejarah Lampung masih sangat minim.
Apakah hasil-hasil kajian mengenai Lampung selama ini begitu terbatas dikerjakan oleh para peneliti dan penulis sejarah daerah ini? Ataukah, hasil-hasil kajian mereka hanya tersimpan pada rak-rak buku di kampus dan dibuat sekadar untuk menenuhi kewajiban laporan penelitian dosen dan mahasiswa? Ataukah, hasil-hasil kajian tersebut belum layak untuk diterbitkan dan dikonsumsi oleh publik? Dan, masih banyak lagi pertanyaan lain terkait kelangkaan pustaka sejarah Lampung.
Paling tidak ada tiga kampus di Lampung yang mengelola program studi sejarah. Dua Program Studi Pendidikan Sejarah, masing-masing di Universitas Lampung dan Universitas Muhammadiyah Metro, serta satu Program Studi Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Tiga kampus ini sedianya menjadi rumah produksi pengetahuan dan pustaka sejarah lokal. Kecuali dua kampus pertama, prodi di kampus terakhir baru beroperasi lima tahun (2019-2024) sehingga belum banyak menghasilkan kajian sejarah jika dibandingkan dengan dua kampus pertama.
Kalau tiga prodi di kampus tersebut memproduksi hasil kajian sejarah dan dipublikasikan secara luas, kita akan punya cukup banyak koleksi tentang sejarah Lampung, sejauh kajiannya diarahkan pada sejarah lokal.
Apabila kajian sejarah Lampung masih minim, lalu bagaimana mungkin proses transfer pengetahuan kesejarahan lokal dapat dilakukan dengan baik oleh guru-guru di sekolah dan madrasah di Provinsi Lampung? Selain untuk memenuhi kebutuhan bahan pelajaran sejarah, pustaka sejarah Lampung juga dapat digunakan untuk bahan muatan lokal.
Dalam konteks ketokohan Lampung, sejauh ini yang lebih banyak diekspose adalah Raden Intan II (1834-1856), tokoh Pahlawan Nasional Lampung yang pertama (1986). Tahun lalu (2023), Provinsi Lampung punya satu lagi Pahlawan Nasional, yakni KH Ahmad Hanafiah (1905-1947) dari Sukadana Lampung Timur. Pengetahuan mengenai tokoh terakhir sangat minim dibandingkan tokoh pertama.
Selain dua Pahlawan Nasional, ada 10 Pahlawan Daerah Lampung, yaitu R.M Magnunprojo, Zainal Abidin Pagar Alam, Nawawi Tuan Raja, H. Kamarudin, Mayor Inf. Syohmin, Komisaris Besar Polisi A. Samad, serta Mr. Gele Harun, Batin Mangunang, dan Ahmad Idris.
Bila semua pahlawan tersebut ditulis sejarahnya, kita akan punya minimal 12 buku pahlawan (Nasional dan Daerah) untuk pelajaran sejarah dan muatan lokal di sekolah dan madrasah. Dengan begitu, peserta didik punya banyak pilihan bacaan dan sumber teladan dari tokoh-tokoh Lampung. Sayangnya, harapan itu belum semuanya dapat terwujud.
Apakah sejarah tidak penting bagi daerah ini? Ataukah mungkin ia hanya dipandang sebagai masa lalu yang ada “di sana”, di kala kita sekarang (“di sini”) akan melangkah ke depan (“di sana”). Dengan kata lain, kehadiran sejarah tidak penting bagi kita sekarang, apalagi bagi hari esok.
Tampaknya, kita perlu belajar dari negara-negara hebat di masa lalu dan sekarang masih sebagai negara maju. Ambil contoh Inggris, negara kecil di Eropa Barat. Jangkauan wilayah kekuasaannya sangat luas di masa lalu. Pengaruh bahasanya pun sampai sekarang tak tertandingi oleh bahasa bangsa lain di dunia.
Dua kampus tertua dan termaju di Inggris, yakni University of Oxford (berdiri 1096 M) dan University of Cambridge (berdiri 1209 M), semuanya punya Faculty of History (Fakultas Sejarah). Ini menunjukkan betapa pentingnya sejarah bagi bangsa Inggris, dan tentunya sejarah bukan untuk masa lalu. Kehadiran Fakultas Sejarah sampai sekarang mencerminkan guna belajar sejarah bagi masa sekarang dan hari esok.
Kita tentunya tidak dapat membandingkan antara Inggris dan Lampung, karena keduanya berbeda dari segi politik dan pemerintahan. Namun, yang penting adalah bahwa pengalaman Inggris menjadi negara besar di masa lalu dan tetap sebagai negara maju di masa sekarang ternyata ia tak pernah mengabaikan pentingnya sejarah.
Bagaimana dengan Lampung? Apakah ia akan tetap mengabaikan sejarahnya? Semuanya akan terjawab pada waktunya.
Semoga di masa kepemimpinan Lampung yang baru nanti, sejarah tidak lagi terabaikan. Semboyan Sai Bumi Ruwa Jurai sesungguhnya adalah pantulan sejarah dari pembentukan masyarakat Lampung dahulu dan sekarang. *